"Jangan lupa datang, ya!" Evi si Kelinci mengingatkan semua dari kami sebelum ia pulang. Satu minggu lagi sebelum pesta ulang tahunnya. Aku tidak yakin apakah aku benar-benar diundang atau tidak, karena biasanya aku dirundung. Dijauhi dan dijadikan bahan gunjingan sudah biasa bagiku. Tapi diundang ke pesta?Â
Yang jelas, sekarang aku harus mempersiapkan segala sesuatu untuk seminggu lagi agar tidak mempermalukan diriku sendiri. Di jalan pulang, aku melihat ilalang-ilalang dan bunga daisy yang cantik. Kupetik dan kubawa. Setelah itu aku melihat bulu-bulu burung yang bertebaran di tanah. Kuambil dan kumasukkan ke saku. Tak jauh dari situ, ada sarang burung kecil yang terlihat indah. Dihiasi oleh berbagai macam bunga, ranting, daun kering, bahkan tutup botol. Sekejap aku langsung dapat mengenali, itu sarang milik Tuan Namdur. Kata binatang lain, Tuan Namdur sangat galak. Tidak boleh ada yang berani masuk barang selangkah pun ke wilayah sarangnya.Â
Karena sudah sore, tidak begitu terlihat. Namun ada benda yang berkilauan di sela-sela sarang itu. Dalam sesaat aku sadar bahwa itu permata. Maka aku mendekat dan kuraih permata itu. Bentuknya aneh, ada jarum di ujung kawat yang mengikatnya. Karena Tuan Namdur sedang tidak ada di sarang, kuambil saja sebelum ketahuan. Kubawa lari dan pulanglah aku ke rumah. Tanganku lincah merangkai bunga-bunga daisy itu menjadi mahkota yang cantik. Bulu-bulu kusangkutkan juga untuk memperindahnya. Yang paling penting adalah permatanya. Tapi aku memilih untuk menyimpan dulu permata itu, takut hilang. Sejenak kupantau pergerakan sekitar. Aman... Semoga saja tidak ketahuan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H