Mohon tunggu...
Syauqina Effendy
Syauqina Effendy Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pemimpi

Jangan tanya siapa aku karena aku juga belum tahu.

Selanjutnya

Tutup

Horor

Fiksi Mini | Rasa Elusif

5 April 2024   16:44 Diperbarui: 5 April 2024   16:46 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

"Hai."

"Halo."

Dialog sapaan kesukaanku. Sepanjang yang menyapa adalah dia.

Aku belum mencari ke seluruh penjuru dunia, tapi telah menemukan ribuan pemuda yang lebih baik darinya. Lebih pintar, lebih tinggi, lebih ramah, semuanya. Namun bagian yang paling aneh adalah, dengan hanya melihatnya, hatiku merasa sangat bahagia. Ribuan perasaanku, sedih, kesal, amarah, frustasi, semuanya bersembunyi dalam momen itu. Satu tatapan mata serasa ditatap seluruh dunia, berharga. Kikuk, grogi, tapi aku menyukainya. Perasaan yang kurasakan ini, susah dimengerti. Kacau.

Jika ia sedih, maka aku juga sedih. Tatapan matanya berubah menjadi sendu. Jika ia bahagia, maka aku lebih bahagia lagi. Tidak tahu, apakah aku sendiri saja yang seperti ini? Setiap ia memenangkan satu perlombaan, maka aku juga harus. Setiap ia menjadi peringkat kedua, aku harus jadi peringkat tiganya. Semua yang berkaitan dengannya, aku harus ada. 

Suaranya, rupanya, tingginya, semuanya aku suka. Aku iri, mengapa ia mempunyai semua yang berharga bagiku padahal belum tentu yang kupunya berharga baginya. Aku benci, bagaimana ia membuatku tergila-gila olehnya padahal belum tentu ia merasakan sepercik saja hal yang sama denganku. Aku sedih, apa pernah sedetik saja ia memikirkanku? Aku selalu memikirkannya sepanjang waktu. Selalu aku berhitung ketika hari libur. Berapa hari lagi aku akan masuk sekolah? Berapa hari lagi aku akan bertemu dengannya? Berapa lama lagi aku harus menahan diri karena tidak bertemu dengannya?

Tapi aku bahagia sekarang. Bebas bisa memandanginya sesukaku, kapan pun aku mau. Aku mempunyai semua hal yang kusuka, suaranya, rupanya, tingginya. Kusimpan ia baik-baik di rubanah rumahku. Walaupun ia tidak lagi bisa bersuara, tidak lagi bisa bernapas, aku tetap menyukainya sepenuh hati. Ketulusan yang pantas kubanggakan. Aku telah belajar mecintai, menyukai.

Yah, mungkin.. Besok lusa, aku akan tahu kalau ini adalah obsesi, bukan suka. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun