Mohon tunggu...
Syauqina Effendy
Syauqina Effendy Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pemimpi

Jangan tanya siapa aku karena aku juga belum tahu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebatang Coklat dan Tiga Potong Roti

17 Maret 2024   16:18 Diperbarui: 17 Maret 2024   16:28 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Jalanan gersang ini membakar telapak kakiku. Musim panas tidak lebih baik dari musim dingin. Penduduk bepergian meninggalkan kota, membuat kota ini sepi. Aku hanya bisa makan sekali sehari, bergantung pada sepotong roti dari toko seberang. Toko yang menjual manisan dan beberapa jenis roti. Setiap malam aku ke sana, membeli makanan sisa yang lebih murah. Kadang-kadang kehabisan karena persaingan yang ketat antara anak-anak bernasib malang sepertiku.

            Keinginanku sedari lama adalah membeli sebatang coklat dari situ. Sisa coklat tidak akan pernah dijual, karena tidak ada. Maka aku menabung berbulan-bulan. Musim panas ini sudah terkumpul setengah jumlah, kusimpan dalam bekas kemasan dan selalu kubawa ke mana pun..

            Tuk! Sekeping koin jatuh di tadahan tanganku, aku tersenyum sambil menengadahkan kepala. Masih ada orang baik yang lewat sini rupanya. Kulirik gadis di depan toko seberang. Gadis itu menatap lurus ke mataku, tidak tersenyum. Sesama pengemis. Dia sering diberi roti oleh pemilik toko. Aku iri, dia pasti memiliki tabungan lebih banyak.

            Segerombolan anak lewat di depanku, mereka memandangku sinis. Pasti pembuat onar. Waspada, kuraba tanah sebelahku. Tidak ada! Aku bergegas mengejar para biang onar itu sambil berteriak-teriak, "Berhenti, bedebah! Dasar pencuri!". Langkah kakiku mengikuti hingga masuk ke gang. Gelap. Oh, ada siluet orang. Tanganku menggapai bajunya dan aku berteriak, "Berhenti!".  Tiba-tiba tanganku ditepis hingga aku jatuh keras sekali, salah satu kakiku terperosok ke selokan. Kerahku ditarik, aku memejamkan mata. "Jangan sok berani, anjing kecil!" Bentaknya.

Dan mereka meninggalkanku terduduk, menangis dan menyumpahi dalam hati. Namun aku segera berdiri, berjalan keluar. Kembali ke tempatku semula. Banyak relawan yang membagikan roti, mereka datang seminggu sekali.

 Beruntung, aku mendapat tiga potong roti kali ini. Lagi, kulirik gadis itu. Ia tidak lagi menatapku. Ia menggenggam sebatang coklat. Rupanya anak-anak di seberang sana masing-masing mendapat sebatang coklat. 

Kumakan roti di tanganku, setengah menangis. Dan gadis itu memakan coklatnya dengan senyuman lebar. Terlihat sekali, coklat itu manis. Tapi roti ini hambar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun