Ruangan itu gelap dan menyeramkan. Membuatmu merasa seperti ada yang akan menyerangmu tiba-tiba dari belakang. Hening tetapi tidak menentramkan. Karena itu malah menambah kesan mencekam. Tidak ada desiran angin, bahkan udara enggan menunjukkan eksistensinya di sana.
"Mau sampai berapa lama?"
"Aku tidak tahu."
"Kalau ingin mati bilang padaku."
"Tapi aku tidak ingin."
"Sudah kubilang harapan itu tidak ada, mustahil."
"Tidak, harapan itu masih ada. Beribu-ribu."
"Di mana?"
"Di sini." Ia meletakkan tangannya di dada. "Di hatiku, di pikiranku, dan di tubuhku."
Lawan bicaranya terkekeh pelan. Menertawakan kekonyolan di depannya ini. Lalu berganti menatap kasihan,
"Tapi tidak ada di matamu," katanya. "Manusia semuanya sama saja. Munafik. Membosankan. Buktinya kau sudah tiga tahun di sini."
"Tenang saja. Sebentar lagi aku akan berhasil keluar dari sini."
"Kalau kau memang benar-benar ingin hidup, kalau memang harapan itu masih ada, seharusnya dari dulu kau sudah keluar dari sini. Lagipula pilihannya mudah sekali. Pilih saja hidup atau mati. Benar?"
"Tidak bisa, aku belum siap mati. Tapi aku tidak sanggup hidup."
"Ribuan harapanmu itu hanya ilusi, keinginan tinggi yang membuatmu merasa akan mendapatkannya. Kenyataannya kau tak mendapatkan itu. Kemudian kau akan merasa kecewa dan harapan itu akan hilang, dengan sendirinya."
"Aku sudah tahu itu." Untuk pertama kalinya, manusia itu tidak membantah. "Dari dulu, dari tiga tahun lalu." Â
"O ya? Lalu menurutmu bagaimana?"
Manusia itu diam sejenak, "Mati saja."
Setelah tiga tahun, tugas malaikat maut itu selesai. Membawa nyawa manusia yang sudah kehilangan seluruh harapannya. Keluar dari ruang hampa di dalam koma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H