"Oi! Buka pintunya! Siapa pun yang ada di dalam! Kalian mau biarin aku tidur di luar gini? Seriusan?" Aku berteriak-teriak seperti orang kesurupan di depan rumahku sendiri pada jam dua pagi. Acuh tak acuh bila nanti para tetangga menjadikanku sebagai bahan gunjingan. Ke mana perginya suamiku pagi-pagi seperti ini?
      Akhirnya, aku mendengar seseorang berjalan dari belakang pintu itu. Kriiett. Pintu terbuka. Tapi yang muncul bukan suamiku. "Loh, kamu?"
      Jelas sekali di depanku ini Vinolia, 'sahabatku' tersayang. "Ngapain kamu di rumahku sepagi ini?" Kutarik napas dalam-dalam, bersiap mengomel panjang kali lebar kali tinggi.
      "Eh, tunggu dulu," Vinolia menyela dengan suara bergetar. "Aku bisa jelasin, tapi bentar... Kamu juga harus jelasin, kenapa kok kamu... Pulang lagi?" Katanya. Dia mendekatkan wajah pucatnya kepadaku.
      "Maksudmu apa, sih?! Ini rumah juga rumahku sendiri. Udahlah, minggir. Aku mau masuk." Tanganku mendorong bahunya untuk menyingkir.
      "Ya udah, ya udah, aku minta maaf banget. Aku khilaf, beneran." Vinolia memegang tanganku, hangat sekali rasanya. Eh, kenapa makin panas?
      "Vin! Aku lagi capek. Jangan bikin aku makin badmood, deh. Sana, aku pingin tidur. Jelasinnya besok aja. Belum puas kamu? Orang mau tidur aja nggak dibolehin." Kutepis tangannya. Alisku mengkerut, kesal.
"Kalo emang mau jelasin itu yang niat, bertele-tele banget. Apa pelakor semuanya gitu? Tcuih, padahal kamu berhasil masuk jurusan Sastra Indonesia di universitas ternama, loh." Gerutuku keras sekali, kemudian aku berjalan mendekat, berbisik tepat di telinganya.
      "Eh, lupa. Itupun jalur dalem ya? Pake papa mama. Makin lama aku makin nyesel dukung kamu," tawaku getir sambil menutup mulut dengan telapak tangan dan melewatinya. Terlihat sekali bulu-bulu kuduk berdiri tegak di tengkuk Vinolia. Kudengar bunyi gemeletuk gigi, seakan ia hendak mengatakan sesuatu padaku. Atau mungkin itu bentuk ekspresi, antara takut dan geram.
      "Udah deh, kamu kan juga. Kita sama hinanya." Suaranya terdengar samar.
      "Bedanya aku udah sering bantu kamu," balasku tanpa menoleh.
      "Kapan? Pas apa?" Dia balik bertanya.
      "Masa lupa? Jasad-jasadnya ada di lemari dalam kamarku loh."
      "O ya? Kemarin jasadmu aku taruh di situ juga."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H