Temaram lampu minyak mengisi penglihatanku yang kabur. Aku terbangun, seketika berharap semoga ini hanyalah mimpi buruk. Ceritanya sangat pasaran, sesuai dengan yang aku tebak. Tangan dan kakiku terikat, begitu juga Sera. Memuakkan, sangat ciri khas penjahat bukan? Memar-memar ditubuhku membiru, aku mati rasa. Dan didepanku, ada seorang wanita tua yang terbaring lemah. Â Aku sudah mengerti, aku menerka-nerka alur yang akan terjadi berikutnya.
Di lantai persis di hadapan kami, terdapat sebuah lingkaran sihir. Eww, sungguh cara yang kuno. Terdengar suara pedang yang diasah sedemikian rupa. Suaranya benar-benar memekakkan telinga. Aku menoleh ke samping kanan, arah dapur. Â Penjahat itu! Hhh.. dasar pencuri!!! Mataku melirik tajam. Ia sepertinya menyadari itu, tetapi berpura-pura seolah tidak tahu.Â
Ia berjalan mendekat ke tempatku. Ke lingkaran sihir lebih tepatnya. "Apakah ia dukun? Atau jangan-jangan ia akan memasak kita?! Seperti Penyihir di cerita Hanzel dan Gretel.." Sera berbisik pelan ke telingaku. "Shhtt..diamlah, aku tidak tahu," aku hanya bisa memberikan jawaban itu. Aku tidak mau memberikannya berbagai kemungkinan yang aku pikirkan. Karena bisa-bisa ia akan cosplay jadi wartawan dadakan.
Hening. Penjahat itu menggores tipis kapurnya ke lingkaran sihir. Entah sedang membuat rumus apa itu. Suara kapur berdecit sangat mengganggu. Ia mengeluarkan seseuatu dari sakunya. Batu Obsidian! Akhirnya setelah kunanti-nanti. "Kembalikan," lirihku. Kutatap ia dengan tajam. Penjahat itu malah melangkah ke tempat Si Nenek. Sial! Ia menghiraukanku.Â
Ia berbisik pelan di telinga wanita itu, pelan sekali, tetapi aku masih dapat mendengarnya. "Bu, sebentar lagi ibu akan sembuh, kutukan ibu akan terangkat. Ibu akan segera bisa kembali menemaniku seperti dulu..," aku menyadari ada sesuatu, sesuatu yang benar-benar salah. Ini salah. Wanita tua itu sudah tidak bergerak sama sekali. Nafasnya tak terdengar barang satu hembusan sekalipun.
Sera tiba-tiba menggoreskan sesuatu ke tali pengikat tanganku. Ia memakai talinya yang sudah terlepas dan menggesek-gesekkan talinya itu ke dalam ikatanku. Ikatannya melonggar. Aku hampir berteriak saking bahagianya. "Tumben kau pintar?" Kataku bercanda kepada Sera. Raut wajah Sera berubah, bersungut-sungut. Aku mengulum senyum dan segera melepas ikatan kakiku. Kulit di bekas ikatannya menjadi biru karena terlalu kencang.
Aku berlari ke arah Si Penjahat dan kutarik tangannya. "Hei! Dengarkan aku! Wanita tua itu, ia sudah tak bernafas. Ia sudah meninggal. Kau harus menerima kenyataan itu." Nada bicaraku melemah di tengah-tengah. Aku tak tega. "Tidak! Ibuku belum meninggal! Ibu hanya terkena kutukan! Aku bisa mengembalikan detak jantungnya. Mengembalikan denyut nadi dan nafasnya dengan Batu Obsidian  itu!"  Ia tertawa getir setelah membentakku. "Dan aku akan mengembalikan semua kenangan itu..," lanjutnya lirih.
"Kau tidak mengerti. Batu itu untuk menyegel portal antardimensi! Kau egois!" Aku berkata tegas, nadaku meninggi. "Tidak, aku mengerti akan hal itu. Aku tidak pernah egois. Aku tidak pernah memikirkan diriku sendiri. Aku selalu memikirkan orang lain. Tapi lihatlah, apa orang-orang memikirkan aku? Apa orang-orang memikirkan ada anak yang sekuat tenaga berjuang bertahan hidup di tengah hutan ini? Apa mereka ingat apa yang mereka lakukan kepada ibuku hingga ia membunuh dirinya sendiri? Hingga membuat ibuku tega meninggalkanku? Disini?" Air mata penjahat itu bercucuran menetes-netes. Ia meremas tangannya.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H