Jika kita mau bertanya mengenai seberapa banyak dokter muslim sekarang yang paling berpengaruh di dunia saat ini? Mungkin jawabannya bisa dihitung dengan jari, atau mungkin jawabannya tidak ada sama sekali. Lalu, coba kita ganti dengan pertanyaa lain, seperti seberapa banyak orang Islam yang menjadi dokter? Tentu jumlahnya sangat banyak, tapi muncul pertanyaan lagi, apakah mereka berkualitas atau hanya sekadar untuk jumlah kebutuhan yang ada? Jika sebagian orang menjawab bahwa dokter muslim saat ini berkualitas, lantas mengapa tidak ada ciptaan, kreasi, atau inovasi baru yang mampu dimanfaatkan oleh berbagai kalangan.
      Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada pengaruh ilmuwan Islam abad pertengahan yang berjasa terhadap dunia kedokteran. Sebut saja Ibnu Sina atau Avisenna. Karyanya seperti Qanun fi at-Tibb menjadi banyak rujukan dokter modern saat ini. Tapi kenapa ilmuwan Islam hari ini kurang menciptakan kreasi baru, khususnya dalam bidang kedokteran. Apa mungkin karena kuatnya Islam sebagai dogma, sehingga hanya berhenti pada ranah keimanan yang hanya mempedulikan akhirat semata. Atau umat Islam saat ini hanya berpuas diri dengan penemuan-penemuan yang ada, sehingga melemahkan daya kreasinya.
      Keadaan umat Islam saat ini, jika dibandingkan, tentu sangat jauh berbeda dengan keadaan umat Islam masa klasik, tepatnya pada abad ke-12 M, di mana kekhilafahan bani Abbasiyah mulai melemah dengan kehadiran bangsa Persia dan Turki. Pada masa tersebut, kondisi intelektual muslim begitu hidup. Perbedaan paham sudah sangat lazim ditemukan. Bahkan ilmuwan muslim di bidang kedokteran tidak hanya Ibnu Sina. Ada seorang ilmuwan muslim yang berpikiran nyentrik. Gagasan-gagasannya di bidang kedokteran tak pelu diragukan. Dia adalah al-Razi atau nama latinnya adalah Razes. Seorang dokter muslim pertama.
      Tulisan ini setidaknya memberikan gambaran kepada umat Islam mengenai historiografi intelektual dalam dunia Islam, di mana sudah sangat banyak historiografi Islam yang di dominasi oleh politik. Sehingga yang kita tahu hanyalah peperangan, pertumpahan darah, bahkan pembalasan dendam dalam kubu umat Islam sendiri. Oleh karenanya, penting bagi umat Islam untuk mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan demi capaian di masa yang akan datang.
- Biografi al-Razi
Di bawah pancaran cahaya lampu, duduk seorang dengan buku yang terus dipegang oleh tangannya. Matanya terus saja melirik kata per kata. ketika ia ngantuk, matanya mulai terpejam dan tangannya lunglai, sehingga buku itu terjatuh dan mengagetkannya. Lantas ia ambil kembali untuk dibaca. Begitulah sekilas kegiatan dari orang tersebut, yang lebih tepatnya bernama Abu Bakar Muhammad bin Zakariya al-Razi, lazimnya disebut al-Razi.
Mengenai tahun lahirnya, banyak versi yang dikemukakan oleh para ahli. Dalam tulisannya Dedy Ibmar, berjudul "Tuhan yang Berpikir: Sebuah Risalah Metafisika", beberapa ahli berbeda pendapat mengenai angka kelahiran al-Razi. Tien Rohmatin mengemukakan tahun kelahiran al-Razi yaitu 863 atau 865 M. Sementara Chase F. Robinson, menyatakan ia lahir pada tahun 865 M. Perbedaan lainnya dari Prof. Azra, al-Razi lahir pada tahun 854 M di daerah Rayy yang saat ini dikenal Teheran.
Semasa kecilnya, al-Razi sangat menyukai puisi dan bermain kecapi, seperti yang tertulis dalam buku "Para Pembentuk Peradaban Islam Seribu Tahun Pertama". Bahkan sekitar umur tiga puluh tahun, ia ditugaskan di salah satu rumah sakit Baghdad. Ia pun berpindah ke kota tersebut, sekaligus menandai reputasinya yang semakin naik. Hal tersebut berkat ketajaman analisis dan kritikannya terhadap tradisi kedokteran sebelumnya. Seperti Hipocrates yang hidup tahun 370 SM dan Galen yang hidup tahun 200 M. Sebagai dokter profesional, ketajaman diagnosisnya tidak sembarangan, yang membuat para Sultan merasa puas dengan kinerjanya.
Dikutip dalam bukunya prof. Azra, kritikan al-Razi terhadap Galen terlihat ketika ia menanggapi pernyataan tentang potensi dari suatu benda yang mempengaruhi benda lainnya. Semisal, minuman panas dapat menghangatkan orang yang sedang sakit. Hal ini berarti panas yang ada di air menimbulkan kehangatan, berarti air ini ada potensi untuk mempengaruhi orang tersebut, sedangkan Galen menganggap manusia yang menerima reaksi air panas tidak lebih panas dari air tersebut. hal inilah yang ditolak oleh al-Razi.
Penguasaannya terhadap pengetahuan pun juga tak perlu diragukan. Mulai dari ilmu politik, kimia, filsafat, logika, teologi, astronomi, matematika, menjadikannya sebagai seorang ilmuwan muslim paling berpengaruh. Ia juga merupakan ilmuwan paling produktif, menurut Tiby, setidaknya ada 200 karya tulis yang dihasilkan.
Di usia senjanya, ia mengalami kelumpuhan fisik, khususnya pada daerah mata yang mengalami kebutaan. Hal tersebut bukan tanpa sebab, semasa ketika menjadi dokter, ia membuat matanya bekerja secara ekstra. Apalagi api dan asap tidak terlepas dalam pekerjaannya, sebagai praktisi Kimia. Sehingga sebagian muridnya mencatat pikirannya, juga mengobati penyakit sang guru.
- Karya dan Pemikiran al-Razi
Al-Biruni sempat menyinggung karya al-Razi yang paling monumental, yaitu berjudul "Makhariq al-Anbiya" atau dalam bahasa Inggris On The Fraudulence of Prophets, dijatuhi larangan beredar dan tuduhan "kafir" terhadapnya. Dalam hal ini, kita akan mengulik lagi mengenai pemikiran al-Razi, mengutip dari Dedy Ibmar, tentang teori lima kekal al-Razi, yaitu:
Pertama, menurut al-Razi, Tuhan merupakan akal murni. Baginya segala yang diciptakan di alam semesta ini merupakan daya, yang disebut al-Razi sebagai akal. Jika dianalogikan, matahari memancarkan sinarnya. Sinar tersebut merupakan esensi dari matahari. Tuhan adalah esensi akal yang memberikan pancaran-Nya kepada ciptaan-Nya. Maka, Tuhan adalah sumber dari segala penciptaan. Â
Kedua, bagi al-Razi, jiwa dan materi merupakan satu kesatuan yang tak terpisah. Jika api itu panas, maka panas adalah jiwa dari materi sebagai api. Apabila keduanya dipisah, jiwa itu adalah kekosongan atau sesuatu yang bodoh tanpa materi. Segala proses penciptaan itu terjadi ketika jiwa melirik suatu materi. Menjadi suatu yang tidak terlepas bila api itu panas dan mengakibatkan terbakar di sekitarnya, apabila ada yang memantik.
Artinya bahwa jiwa itu akan mencari materi yang cocok dengannya. Mustahil bagi air untuk membakar sesuatu, karena jiwanya bukan disitu. Kemudian, pandangan al-Razi, bahwa sebenarnya alam ini bukanlah kenikmatan, tapi upaya pembebasan dari penderitaan. Contoh sederhananya, ketika buang air besar, karena isi perut telah penuh maka ia menuntut untuk dikeluarkan. Jika tidak, dia akan mengalami penderitaan. Maka, keluarkan saja.
Ketiga, ruang dan waktu, al-Razi membagi antara ruang dan waktu mutlak serta ruang dan waktu relatif. Ruang relatif secara sederhananya adalah tinggi, lebar, dan panjang yang terkandung dalam materi. Sementera waktu relatif adalah gerak dalam materi, baik awalan maupun akhiran, atau kita sebut sebagai jam, di mana dunia memiliki waktu 24 jam. Sedangkan ruang mutlak merupakan sesuatu yang di dalamnya ada jasad atau tidak ada jasad, waktu mutlak adalah sesuatu yang terukur maupun tak terukur.
 Sederhananya begini, ruang dan waktu mutlak ini adalah entitas yang tidak bergantung dengan yang lain. Jelas bahwa ruang dan waktu mutlak ini adalah metafisika. Semisal, ketika manusia mati, maka jiwanya akan kembali, tentu ada ruang yang menampung itu semua. Bayangkan bumi dengan penduduknya secara keseluruhan, tentu ruangnya terbatas. Tapi, ada ruang yang di mana mampu menampung segala sesuatu, baik jiwa Adam sampai bayi yang akan lahir ketika kiamat nanti, adalah ruang yang tanpa batas dan bersifat kekal, dengan waktu tanpa awalan dan akhiran.
Karyanya dalam bidang kedokteran berjudul "Kitab al-Hawi fi al-Tibb". Menjadi rujukan bagi para dokter Eropa hingga kini. Tiby menulis bahwa kitab tersebut terkandung banyak dan cara pengobatan terhadap penyakit asam urat dan persendian. Lebih rinci, Tiby juga mengungkapkan bahwa al-Razi menggunakan colchicum serta opium untuk meredakan penyakit tersebut. Dengan beberapa efek samping yang diterima, namun prioritas kesembuhan pasien tetap diperhatikan, sesuai dengan dosisnya.
Menarik untuk dibaca pada awal tulisannya al-Razi, ia tidak menafikan Tuhan dalam segala aktivitas kedokterannya. Namun, baginya menghindari segala bentuk kepatuhan kepada para pemimpin, mungkin dalam hal ini banyak yang menafsirkan perihal Nabi, harus disingkirkan terlebih dahulu. Istilah agamanya adalah taklid buta. Al-Razi mengharamkan ini dalam pekerjaannya atau pun dalam dunia kedokteran. Bahkan al-Razi meninggikan pemanfaatan terhadap akal, yang diciptakan Tuhan, sehingga manusia memiliki kebebasan.
Al-Razi bukanlah orang yang menafikan al-Qur'an dan Hadits sebagai suatu fungsi dalam sosial maupun politik. Seperti mengatur kehidupan masyarakat, memberikan kejelasan terhadap hak dan batil, tapi lagi-lagi, bagi al-Razi semua itu sia-sia tanpa penggunaan akal. Karena akal bagi al-Razi adalah karunia dari Tuhan, dan tuhan sebagai akal murni, maka sudah sepantasnya kerinduan akal akan kembali kepada-Nya.
Referensi:
Azra, Azyumardi. Historiografi Islam Kontemporer. Edited by Idris Thaha. Jakarta: Gramedia, 2002.
Ibmar, Dedy. Tuhan Yang Berpikir: Sebuah Risalah Metafisika. Jakarta: YOI, 2020.
Robinson, Chase F. Para Pembentuk Peradaban Islam Seribu Tahun Pertama. Ciputat: Alvabet, 2022.
Tibi, Selma. "Al-Razi and Islamic Medicine in the 9th Century." JOURNAL OF THE ROYAL SOCIETY OF MEDICINE 99 (2006): 206--7.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H