Perhelatan Asian Games 2018 sudah di ambang pintu. Persiapan ke arah sana sudah dilakukan oleh berbagai pihak, bukan hanya pemerintah dan panitia yang bertugas, termasuk pula oleh masyarakat Indonesia secara umum. Ini merupakan kali kedua Indonesia menjadi tuan rumah pesta olahraga terbesar kedua di dunia tersebut, sejak 56 tahun silam.
Melihat realitas sejarah, Indonesia punya catatan baik menjadi tuan rumah Asian Games di tahun 1962. Bahkan prestasi Indonesia di event empat tahunan ini juga dapat dibilang cukup membanggakan. Tinggal bagaiman torehan sejarah ini dapat diulang dan dikembangkan menjadi lebih baik lagi. Tentu, dengan segenap persiapan yang lebih batang, supra dan infrastrukturnya.
Terlebih pada tahun ini, Indonesia sedang memasuki tahun-tahun politik, mulai dari Pilkada 2018 (yang baru selesai) sampai pada Pemilu (Legislatif dan Presiden) 2019. Kondisi ini, sedikit banyak akan turut berpengaruh, dalam bentuk apapun, sehingga perlu mendapat perhatian khusus.
Politik tidak punya mata, ia hanya mengerti diri dan kepentingannya saja. Bagi sebagian orang (politikus), politik bisa menjadi sangat liar dan kejam. Walhasil, terhadap yang satu ini, kita semua musti tidak boleh lengah.
Namun begitu, kita punya masyarakat yang ramah dan penuh toleran terhadap orang asing. Ini fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri dan sekaligus bekal yang paling diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai panitia pelaksana Asian Games 2018. Bukti yang paling dekat, selama perhelatan Piala AFF 2018, suporter Indonedia menunjukkan perilaku kondusif dan penuh semangat mendampingi Timna U-16 menjadi juara.
Torehan positif ini perlu terus dikelola dengan baik, dan diketuk-tularkan dari tahun ke tahun, dari generasi ke genarasi. Bangsa yang besar seperti Indonesia, perlu terus menunjukkan kebesarannya kepada dunia dengan berbagai prestasi, dan pelayanan yang baik kepada peserta, para tamu dan suporter dari negara-negara yang ikut serta di Asian Games 2018.
Perilaku anarkis, dan kepentingan politik yang sempit, perlu sedikit ditekan, bukan hanya untuk kesuksesan Asian Games 2018 ini, tetapi untuk kebesaran bangsa Indonesia.
Menumbuhkan Semangat Kemerdekaan
Asian Games tepat berlangsung di bulan Agustus, bulan kemerdekaan bangsa kita, yang penuh berkah dan nilai-nilai perjuangan yang heroik. Momentum ini tentu memberikan efek kejiwaan yang positif, baik terhadap atlet, tim pelatih, panitia, masyarakat dan pemerintah Indonesia.Â
Keesokan harinya, setelah merayakan HUT Kemerdekaan RI ke 73, seremonial pembukaan Asian Games 2018, akan digelar sebagai tanda dimulainya event bergengsi ini.
Tentu saja, kedekatan ini adalah peluang besar untuk terus menggelorakan deru semangat perjuangan menujut Indonesia yang berprestasi dan lebih bermatabat di mata dunia. Setidaknya, terdapat dua nilai dasar yang musti terus dihidupkan oleh semua pihak dalam Asian games 2018 ini:
Pertama; patriotisme. Semangat kepahlawanan adalah darah juang yang paling bergelora. Ia harus dimiliki, terutama setiap atlet Indonesia yang bertanding di 40 cabang olahraga di Asian Games 2018.
Kalau dulu, para pahlawan telah berjuang dalam memerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan, sekarang kita semua, berjuang untuk mengisi kemerdekaan dengan beragam prestasi positif, salah satunya yang paling dekat dan berkemungkinan besar adalah meraih medali semaksimal mungkin di Asian Games 2018.
Tidak semua perjuangan membawa nilai patriotik. Perjuangan patriotik itu adalah perjuangan yang dilakukan dengan pengabdian yang tulus demi bangsa dan Negara. Perjuangan yang hanya mengejar nama baik pribadi dan kepentingan golongan bukan perjuangan seorang pahlawan. Seorang atlet seharusnya adalah pahlawan. Karena itu, selain memiliki jiwa patriot, mereka harus pula punya rasa cinta terhadap tanah air.
Kedua; nasionalisme. Rasa cinta tanah air adalah dasar dalam setiap perjuangan seorang pahlawan. Kita semua memang berasal dari latar belakangan yang berbeda. Tapi segala perbedaan itu, harus luluh dan ditundukkan di bawah rasa nasionalisme.
Asian Games 2018 adalah salah satu arena paling strategis untuk menunjukan semangat nasionalisme, sesuai dengan tugas, peran dan kemampuan masing-masing. Kecintaan terhadap tanah air bukan berarti mengesampingkan orang-orang asing, tapi justru menjamu niat baik mereka sebaik mungkin demi kebesaran bangsa dan Negara.
Dengan semangat patriotik dan jiwa nasionalisme, kita sebgai sebuah bangsa, ada harapan besar untuk menjadi tuan rumah yang baik bagi Asian Games 2018. Selain itu, kita juga akan mampu bermain sportif dan meraih hasil positif di 40 cabang olahraga yang diselenggarakan. Apalagi Jakarta dan Palembang, adalah dua kota besar yang memiliki sejarah tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Laku Spiritual Masyarakat Madura
Selain spirit kemerdekaan (semangat patriotik dan jiwa nasionalisme), terdapat pula energi positif lainnya yang bisa dijadikan bekal suksesnya banga Indonesia di Asian Games 2018. Energi bersumber dari tradisi masyarakat Madura. Sebuah kearifan lokal yang menjadi kebiasaan masyarakat pulau garam tersebut.
Mengingat Indonesia bukan hanya Negara, tapi sebuah bangsa yang besar dan kaya dengan keragaman budaya, maka sudah seyogyanya punya kearifan dalam mengeksplorasi budaya bangsa, salah satunya adalah Madura.
Mungkin, masyarakat Madura tidak punya peran khusun dalam Asian Games 2018, tapi mereka punya tradisi yang bisa "disumbangkan" sebagai salah satu suplemen energi para atlet yang akan bertanding. Tradisi ini menjadi semacam laku spiritual yang mereka lakukan sebagai upaya membuka pintu langit, meminta pertolongan yang tak kasat mata kepada sang penguasa semesta.
Bagi masyarakat Madura, anak-anak mereka yang akan pergi bertanding dalam berbagai event perlombaan, apalagi sebesar Asian Games 2018, sama dengan akan berangkat perang. Bukan hanya butuh kesiapan jasmani, tapi juga rohani. Bukan hanya harus lengkap fasilitas fisik dan material, tetapi juga psikis dan immaterial, dari yang profan sampai transendental. Diantara sekian laku spiritual tersebut adalah:
Pertama; Koteka. Masyarakat Maduran memandang guru dan para sepuh adalah lentera kehidupan yang sering dijadikan petunjuk dalam menghadapi beberapa persoalan, termasuk pula dalam hal perlombaan. Makanya, sebelum berangkat, meraka (para atlet/pemain) akan pamit secara resmi, dengan mendatangi langsung ke rumahnya bersama orang tua mereka.
Pamitan terhadap guru dan para sepuh, bukan sekedar meminta doa dan restu. Tapi lebih pada keperluan memohon petunjuk akan perilaku tertentu yang bisa dijadikan sebagai "syarat gaib" dalam meraih kemenangan, dalam epistemologi masyarakat Madura disebut dengan koteka.
Contoh koteka ini, misalnya: ketika mau berangkat, harus keluar dari pintu belakang rumah, terus beridiri di tengah-tengah halaman dengan menghadap ke Barat sambil membaca doa tertentu. Atau sebelum memasuki area pertandingan, disuruh menghentakkan kaki tiga kali sambil membaca doa tanpa bernafas. Dan masih banyak contoh lainnya.
Dalam koteka, perilaku itu lebih penting dari doanya. Bahkan ada koteka hanya berupa perilaku tertentu, tanpa melafadzkan doa apapun. Karena perilaku-perilaku unik tersebut sudah dianggap sebagai simbol dari doa atau pengharapan, sehingga tak perlu diucapkan lagi. Koteka seperti ini sering kali manjur.
Karena pada prinsipnya, koteka mengajarkan bahwa ada peran gaib dalam setiap usaha manusia. Dan kepercayaan masyarakat Madura, meskipun tidak tampak, faktor gaib itulah yang memegang peranan penting dalam kesuksesan seseorang.faktor gaib itu kemudian diterjemahkan sebagai pangeran (Tuhan). Jadi, koteka dilakukan untuk memperoleh perkenan ilahi.
Kedua; Tirakat. Masyarakat Madura kental dengan nuansa keagamaan, dan kekentalan ini dalam kasus-kasus tertentu sering bersifat mistis. Mistis berbeda dengan tahayul dan khurafat. Mistis adalah sebuah perilaku yang lebih cenderung kepada sesuatu yang gaib dan transenden.Â
Kecenderungan ke arah sana sering kali diwujudkan ke dalam laku spiritual tertentu dengan ritme yang pakem, kemudian dikenal dengan istilah tirakat. Misalnya, dengan melakukan poasa mote, yaitu berpuasa dengan hanya makan nasi putih tanpa ikan dan sayur tiap buka dan sahur. Dan masih banyak contoh yang lain.
Tirakat adalah latihan untuk menambah kekuatan rohani dan mengundang pertolongan dari langit. Tirakat ini, bisa dilakukan sendiri oleh atlet yang hendak bertanding, atau oleh orang tua yang bersangkutan.
Sebagaimana koteka, tirakat harus dilakukan berdasarkan petunjuk guru atau sesepuh, dengan pemberian dan petunjuk khusus. Bukan hanya orang tua, terkadang masyarakat Madura ngumpul bareng-bareng melakukan sebuah ritual tertentu, demi keberhasilan seorang kontestan, baik secara sukarelawan maupun sengaja diundang. Â
Itulah dua dari sekian banyak laku spiritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat Madura, dalam menghadapi moment-moment tertentu, tak terkecuali ajang perlombaan. Tentunya, kedua laku spiritual yang saya sebutkan di atas bukan lantas mengesampingkan upaya-upaya fisik yang musti dilakukan.
Keduanya hanyalah sarana untuk semakin menegentalkan kekuatan spiritual dalam sebuah pertandingan. Meskipun tidak dijamin pasti menang, setidaknya, laku spiritual semacam itu akan membuahkan energi positif dalam bertanding. Sportivitas dalam pertandingan, bagi saya, adalah nilai yang tidak kalah pentingnya dengan kemenangan.
 Ares Tengah, 15 Agustus 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI