Internet adalah sebuah perkampungan global yang memiliki penghuni tetap sebagai warganya. Para warganet  ini bisa macam-macam, sepeti halnya juga warga sebuah Negara, ada hitam ada putih, ada yang baik dan yang jahat. Namun mereka jangan dipandang remeh, mereka tetap harus diakui sebagai sebuah komunitas yang eksis.
Sebagai Menteri Agama, jelas punya kebijakan dan wewenang. Andai jadi Menag, saya akan gunakan wewenang saya untuk melahirkan sebuah kebijakan yang berkaitan khusus dengan para warganet, atau pengguna media sosial. Kebijakan ini tidak berupa hukum atau undang-undang formal yang mengikat seperti ITE, tapi lebih sebagai sarana komunikasi Menag dengan para warganet yang berlangsung bebas dan terbuka.
Misalnya, bikin sebuah akun bersama, aplikasi, program atau apa saja namanya, yang memberikan ruang dan kesempatan kepada seluruh warganet untuk nimbrung bersama, ngobrol-ngobrol dan berbagi hal yang bermanfaat. Mereka (warganet) memerlukan sedikit perhatian dan komunikasi yang instens dan penuh kekeluargaan.
Dari program ini, sesekali komunikasi perlu ditarik ke dunia nyata. Bapak menteri agama harus melaksanakan pertemuan khusus dengan para warganet, sesekali. Berbicara langsung, dan kalau perlu, memberikan semacam reward bagi pemilik akun yang aktif bersama Menag dalam mengupdate satatus yang positif. Atau paling tidak, melakukan foto bareng, itu sudah cukup. Sebab bagi banyak warganet, foto bareng dengan Menteri Agama jelas sebuah kebanggaan dan bisa jadi motivasi untuk berbuat hal yang positif dalam bermedia sosial.
Hal ini dilakukan sebagai upaya tandingan atas sekelompok orang yang sengaja jadi motor penyuplai konten-konten negatif, entah berupa seruan radikalisme, ujaran kebencian, fitnah politik dan agama, berita bohong, ataupun yang lainnya. Saya rasa, para penyebar konten negatif di media sosial hanya segelintir orang saja, yang banyak adalah mereka yang mejadi korban dan secara otomatis menjadi tangan-tangan penerus.
Ketiga; Melek Literasi
Gerakan melek literasi ini sejalan dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Melalui gerakan literasi, kecerdasan dapat terus diasah. Sehingga lambat laun dapat tercipta gerakan cerdas bermedia sosial.
Gerakan literasi ini jangan dibayangkan yang rumit-rumit dan serba ilmiah. Cukup dimulai dengan menggelar event sederhana, misalnya menulis status di facebook dengan tema-tema khusus, misalnya bercerita tentang panorama alam di tempat tinggal masing-masing. Kementerian Agama RI bisa menggelar event ini di momen-momen tertetu, melalui program khusus yang saya sebutkan sebelumnya, seperti HUT Kemerdekaan RI, maulid nabi, hari kartini, hari natal dan hari-hari besar lainnya.
Dengan gerakan ini, diharapkan tumbuh kebiasaan membaca dan belajar di kalangan pengguna media sosial. Agar mereka tidak mudah menyebar satu statement, opini atau berita tertentu yang masuk ke berandanya, yang belum diketahuinya dengan pasti. Kebiasaan membaca yang diringi dengan sedikit berpikir, akan menggiring para warganet lebih cerdar dalam bermedia sosial, sehingga tidak akan mudah terpengaruh dan terprovokasi.
Harus diakui bahwa kita sebagai bangsa, di sektor-sektor tertentu masih lemah dalam hal literasi. Apalagi literasi digital yang laksana samudera luas dengan beragam hal tergenang di dalamnya. Bagi siapa saja yang malas, maka ia akan terombang-ambing dalam lautan kebodohan yang maha dahsyat.
 Melalui tiga hal ini, kita berharap, konten negatif yang muncul dalam beragai media sosial, paling tidak, dapat diminimalisir.