Madura menyimpan kearifan budaya yang kaya dengan nilai-nilai moral. Moralitas adalah urat nadi sebuah kebudayaan. Tanpa moralitas, sebuah kebudayaan akan cepat rapuh karena tidak punya kerangka dasar dan pijakan yang kuat. Tengoklah kebudayaan-kebudayaan instan yang yang diimpor dari luar sana, di dalamnya selalu terdapat bahaya yang mengancam kemanusiaan. Budaya hidup bebeas, budaya buka-bukaan, budaya narkoba, dugem dan sesamanya adalah contoh kebudayaan luar yang tidak bermoral.
Beruntung sekali kita dapat warisan kebudayaan dari para leluhur dan orang tua yang sangat bijaksana. Mereka menjadikan moralitas sebagai roh kebudayaan Madura, salah satunya melalui rekayasa bahasa dengan menciptakan semacam stigma atau istilah yang bersentuhan langsung dengan moralitas. Bahasa ini menjadi semacam jimat yang bisa menyelamatkan anak-anak Madura dari perbuatan jelek dan tidak sopan. Di masa kecil dulu, bersama anak-anak yang lain, kami selalu berusaha untuk mencari jalan agar tidak bersua dengan bahasa yang “angker” tersebut.
Bagaimanapun juga sebuah bahasa akan sangat berpengaruh terhadap psikologis seseorang. Sebagaimana psikologi juga mempengaruhi seseorang dalam memproduksi sebuah bahasa. Keduanya memiliki hubungan timbal balik yang sejalan dan berbanding lurus. Dari sebuah bahasa, kondisi jiwa seseorang dapat diarahkan untuk melakukan satu tindakan yang diinginkan, atau dikendalikan dari melakukan sesuatu yang dilarang.
Terkait dengan pengendalian perilaku inilah, orang-orang Madura memiliki satu kearifan bahasa yang dapat digunakan sebagai cara menanam dan menumbuhkan moral. Tidak mengandung cacian, apalagi hinaan, tapi nilai kearifan untuk meluruskan jalan.
Jube’ dan Upaya Menanam Kesalehan
Kalau ada seorang anak yang berperilaku tidak baik, kurang pantas, maka para orang tua akan melarangnya dengan mengatakan: jube’. Jube’ berdeda dengan istilah haram, makruh, batil, mungkar, atau bid’ah dalam terminologi agama. Jube’ bahkan mencakup itu semua, kalaupun mau disepadankan, istilah jube’ ini lebih dekat dengan akhlaqul madzmumah, akhlak (moral) yang tercela. Tapi istilah ini kedengarannya tidak “ekstrim” karena memang berasal dari kebudayaan sehari-sehari orang Madura yang sudah berlangsung sekian lama.
Sekedar contoh, di antara sekian banyak perbuatan yang dianggap jube’ adalah makan sambil berdiri atau menggunakan tangan kiri, nonton tivi di waktu maghrib, tidur di waktu subuh, mengambil punya orang lain, suka ganggu orang (la-nayala), tidak menanggapi saat dipanggil, melawan saat dinasehati, dan seterusnya. Ketika para orang tua menemukan anak-anak berperilaku demikian, mereka hanya bilang: “jangan nak, itu jube’”!. Dan tidak memakai istilah-istilah agama seperti haram, dosa, sesat dan sejenisnya.
Anak-anak di Madura lebih mudah menerima istilah jube’ dari pada memakai istilah lain untuk melarang mereka dari satu perbuatan tertentu yang kurang atau tidak pantas dikerjakan. Jube’ adalah sebuah sebutan untuk melarang dan sekaligus upaya untuk menanam: melarang kejelekan dan menanam kesalehan. Indikasi utama kesalehan menurutmadzhab Madura adalah paradduh (cocok) bagi Tuhan, orang tua dan bangsanya. Kalau sudah cocok pasti disenangi dan disayang, dan untuk bisa demikian, kita semua harus menghindar sejauh mungkin dari pebuatan jube’: moralitas yang rusak dan tidak pantas dimiliki sebagai manusia.
Cangkolang dan Upaya Menumbuhkan Kesopanan
Istilah cangkolang biasanya dilekatkan pada sebuah perbuatan yang melanggar etika sopan santun dalam pergaulan dengan orang yang dituakan, atau orang yang semestinya mendapat penghormatan. Dalam kebudayaan Madura, terdapat istilah bapa’ bapu’ guru rato(bapak, ibu, guru, raja), yang merupakan orang-orang yang harus dihormati dalam pergaulan, melebihi yang lain. Perilaku yang tidak menghormati, tidak sopan, terhadap orang-orang tersebut, dinamakan cangkolang atau dalam bahasa agamanya; suul adab aliastak tao tatakrama (tidak tahu etika).