Bahaya yang Mengancam
Tuhan memberikan isyarat dengan terpelesetnya lidah Ahok: melalui pintu itu, kita akan masuk ke dalam satu ruangan gelap persekongkolan orang-orang asing yang hendak menghancurkan Islam dan Indonesia secara bersamaan. Tapi sayang, kita hanya berdiri di luar pintu dan sesekali melongok ke dalam tanpa ada upaya yang jelas untuk masuk. Ahok sebagai sebuah pribadi memang seorang diri, tapi sebagai sebuah metamorfosis kepentingan-kepentingan, dia punya banyak teman dan relasi-relasi.
Ahok tidak diadili tidak masalah, kita maafkan saja dan justru berterima kasih: yang penting umat Islam di Betawi dan sekitarnya tidak perlu memilihnya sebagai gubernur lagi. Bukan karena telah menistakan agama, tapi Jakarta butuh pemimpin yang lebih dari sekedar seorang teknokrat! Bukan hanya sekedar keahlian menata kota, tapi juga kesanggupan menjaga Jakarta sebagai ibu kota yang mandiri: selamat dari kepentingan asing! Berawal dari Jakarta, pengusaha asing membangun tambak di kampung saya. Puluhan hektar tanah dikuasai. Lahan pertanian dan perkebunan disulap jadi industri. Pantai tercemar dan banyak ikan yang mati.
Kapitalisme global adalah ancaman kemanusian yang paling besar abad ini. Inilah yang seharusnya menjadi tuntutan kita, dengan Ahok sebagai salah satu lakonnya, kita pasang kamera untuk menyorot semua kru yang terlibat, termasuk sutradara dan perancang skenarionya. Ibarat Ahok sedang terlibat dalam permainan film forno, kalau yang kita tuntut hanya Ahok sebagai pemain, dan kita melupakan industri yang membuatnya, maka seharusnya kita malu meneriakkan Allahu Akbar: Tuhan Yang Maha Besar hanya dipakai untuk menuntut hal-hal yang kecil. Kontradiktif! Tak perlu menggelar shalat di jalan! Cukup di rumah dan mengkhatamkan al-Quran!
Ares Tengah, 03 Desember 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H