Mohon tunggu...
Syarwini Syair
Syarwini Syair Mohon Tunggu... Petani - Pegiat Lingkungan Hidup

Seorang petani Madura yang selalu belajar membajak dan mencangkul tanah kebudayaan untuk menanam kembang kearifan. Hidup dengan prinsip: tombu atina kembang, ngalotor atina ro'om!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kemelut Seni Tayub di Tengah Pragmatisme Masyarakat Madura

23 November 2016   19:45 Diperbarui: 24 November 2016   18:58 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: MataMaduraNews.com

Melihat seni tayub secara lebih dekat dewasa ini, akan tampak ada perbedaan  yang sangat jauh dibandingkan dengan seni tayub tahun 90-an misalnya, saat masa saya masih kanak-kanak. Perbedaan ini, bahkan sangat mencolok dalam beberapa hal, yang akan penulis kritisi satu persatu, demi menjaga nilai estetika dan etika seni tayub itu sendiri, agar tetap menjadi hiburan yang penuh kearifan lokal, dan steril dari pengaruh budaya pop global yang serba vulgar.

Perbedaan pertama dapat dilihat dari satu sudut pandang bahwa pagelaran seni tayub merupakan ajang besar atau semo raje,sehingga busana yang digunakan harus estetis dan etis: indah dan baik. Tradisi masyarakat penayub zaman dulu dalam berbusana adalah memakai kopyah hitam (nasional), baju lengan panjang, dan sarung sampai mata kaki, dan sebagian pakai jaspen.

Kesopanan dalam berbusana adalah harga mati, selain keahlian dalam seni tangdhang. Tidak semuanya, tapi sebagaian para penayub sekarang hanya pakai kaos oblong, pakai celana pensil dan tidak pakai kopyah. Kesopanan dalam berbusana sudah tidak menjadi pertimbangan yang utama.

Perbedaan kedua terletak pada seni tangdhang, dan secara langsung juga berkaitan dengang merk / jenis gending yang digunakan. Para penayub kuno hampir semua menguasai tangdhang puspo (salah satu jenis gending yang sangat halus, biasanya ginukan oleh para raja / rato), yang menjadi tolak ukur utama semua jenis tangdhang dalam berbagai jenis gending.

Dan umumnya gending yang digunakan adalah puspo, senom, sekar ganggung, meskalan, walang keke’, yang bernuansa agak halus, atau paling kasarnya adalah pedat, dan sampa’. Sementara sekarang, karena mayoritas penayub memang sudah tidak menguasi seni tangdhangyang baik, tinggal bergerak-gerak saja tanpa nuansa estetika sama sekali, dengan diiringi gending yang agak kasar seperti gunung sari, toccek, bindrung, kuda nyirik, bahkan lagu-lagu popular seperti sakitnya tuh di sini, cinta satu malam, pokoke joged dan oplosan.

Perbedaan ketiga terdpat pada cara memperlakukan sinden. Para penayub dulu mayoritas menjaga etika ketika berduet dengan sinden di gelanggang. Jarang terjadi sentuhan langsung, bahkan mereka saling nangdhang dan ngjeung dalam jarak yang proporsional. Para pengirim (uang) juga selu menjaga diri dengan tidak berbuat hal-hal yang melanggar etika dan adat. Belakangan ini, para penayub sudah mulai sedikit melalaikan etika tersebut, bahkan terlihat berlebihan dalam hal-hal tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun