Di kutip dari merdeka.com; menurut cerita yang disampaikan oleh Thomas, seorang warga Flores, keberadaan gajah yang menjadi sumber gading ini memang tak dapat ditemukan di NTT. Ia menjelaskan bahwa dahulu kala, orang Portugis sering melakukan perdagangan dengan menukarkan hasil bumi lokal dengan gading gajah. Kini, gading tersebut menjadi barang yang sangat spesial dan berharga, meski sulit diperoleh.
Di sisi lain, Nando, seorang warga asli Larantuka, berbagi pengalamannya tentang belis. Ia mengungkapkan bahwa belis berupa gading gajah kini nyaris tidak ada yang membelinya. Banyak orang lebih memilih untuk memberikan belis yang merupakan warisan dari generasi sebelumnya. Nando sendiri pernah membeli belis seharga Rp 40 juta, yang menurutnya adalah harga yang cukup tinggi untuk barang yang kecil.
Dengan pekerjaan sebagai sopir sewaan, Nando mengakui betapa beratnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi tradisi ini. Ia mengingat kembali pengeluarannya yang mencapai ratusan juta rupiah hanya untuk memenuhi syarat belis, ditambah dengan biaya untuk hewan kurban seperti kambing dan babi.
Kisah Nando menggambarkan betapa belis yang diserahkan kepada istrinya, yang berasal dari Lembata, diperoleh dari kakak perempuannya. Kakaknya bahkan harus mencicil belis tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi belis bukan hanya beban individu, tetapi juga melibatkan keluarga yang lebih luas dalam prosesnya.
Bagi warga NTT, yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian dan perkebunan, tradisi belis bisa menjadi beban yang sangat berat. Banyak orang bahkan terpaksa mencari pekerjaan di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) hanya untuk dapat memenuhi tuntutan belis ketika hendak menikah.
Nando menceritakan betapa beratnya tradisi ini, terutama ketika ada tetangga yang meminta tujuh belis gading, mengikuti jejak ibunya yang mendapatkan tujuh belis pada masanya. Hal ini menunjukkan bahwa ekspektasi masyarakat terhadap belis bisa sangat tinggi dan beragam, tergantung pada latar belakang budaya dan sejarah keluarga.
Namun, di tengah beban tersebut, beberapa laki-laki mencoba mencari cara untuk mengurangi biaya belis. Salah satu taktik yang muncul adalah dengan membuat wanita hamil terlebih dahulu, yang bisa menurunkan harga belis. Meski cara ini tidak etis dan bertentangan dengan norma kesusilaan, banyak yang merasa terdesak untuk melakukannya.
Menariknya, meskipun tradisi belis membawa banyak tantangan finansial, tidak ada laporan tentang pencurian belis di daerah ini. Nando menjelaskan bahwa belis dianggap sebagai benda keramat dan jika ada yang mencurinya, diyakini bahwa benda tersebut akan kembali dengan sendirinya kepada pemiliknya.
Ketika berbicara tentang belis, Nando tak bisa menyembunyikan perasaannya. Ia merasakan tekanan dari tradisi yang harus dipenuhi, tetapi di saat yang sama, ia juga merasa bingung dan pusing dengan biaya yang harus dikeluarkan. Tradisi ini, meskipun kaya makna, sering kali menjadi ancaman bagi perekonomian warga NTT yang semakin terhimpit oleh berbagai tantangan.
Tradisi belis di NTT mencerminkan nilai-nilai budaya yang mendalam dan kompleks. Meskipun ada tantangan, masyarakat tetap mempertahankan tradisi ini sebagai cara untuk menghormati wanita dan keluarganya. Belis menjadi simbol cinta dan komitmen yang akan terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Paji Hajju