Presidential Threshold Dihapus, Siapa Mau Nyapres 2029?
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas syarat pencalonan presiden dalam UU Pemilu 7/2017 menjadi sorotan penting dalam dunia politik Indonesia. Langkah ini diharapkan dapat memberikan peluang lebih besar bagi calon presiden dan wakil presiden untuk berpartisipasi dalam pemilihan mendatang. Dengan penghapusan ini, siapa pun dapat mencalonkan diri selama mendapatkan dukungan dari partai politik, tanpa terhalang oleh syarat jumlah kursi di parlemen.
Keputusan MK ini membuka jalan bagi individu yang sebelumnya mungkin terhalang untuk mencalonkan diri. Dengan demikian, proses demokrasi diharapkan menjadi lebih inklusif, memberikan lebih banyak peluang kepada masyarakat untuk memilih berbagai pilihan pemimpin. Ini dapat menciptakan dinamika baru dalam pemilihan umum yang akan datang.
Meskipun keputusan ini membawa angin segar, ada kekhawatiran bahwa penghapusan ambang batas dapat menimbulkan kerumitan baru dalam sistem pemilihan presiden. Ali Rif'an, Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia, mengingatkan bahwa perlu ada solusi agar kerumitan yang muncul akibat kebijakan ini dapat diatasi.
Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa proses kandidasi presiden sebelumnya didominasi oleh partai-partai politik tertentu, yang mengakibatkan terbatasnya pilihan bagi pemilih. Penghapusan ambang batas diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi dengan memberikan lebih banyak alternatif calon pemimpin.
Mahkamah juga mencatat bahwa ambang batas pencalonan presiden cenderung menghasilkan dua pasangan calon, yang seringkali menimbulkan polarisasi dalam masyarakat. Dengan lebih banyak calon, diharapkan masyarakat tidak terjebak dalam perpecahan yang sering terjadi dalam pemilihan sebelumnya.
Keputusan MK memberikan hak konstitusional bagi setiap orang untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, asalkan mendapatkan dukungan dari partai politik. Hal ini menciptakan suasana yang lebih adil dalam proses pemilihan, di mana setiap calon memiliki kesempatan yang sama.
Ali Rif'an juga berpendapat bahwa keputusan ini dapat membuat pilihan calon dalam Pilpres 2029 lebih bervariasi. Dengan kata lain, masyarakat akan memiliki lebih banyak opsi, sehingga mengurangi ketergantungan pada calon-calon yang sama dari pemilihan sebelumnya.
Namun, di balik peluang tersebut, ada risiko yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah stabilitas politik di parlemen. Dengan presiden terpilih yang mungkin berasal dari partai tanpa kursi signifikan, posisi presiden dalam pengambilan keputusan bisa menjadi rentan.
Ali Rif'an mengingatkan bahwa presiden yang tidak didukung oleh mayoritas partai di parlemen berpotensi mudah dimakzulkan. Hal ini dapat menghambat pelaksanaan program-program yang telah direncanakan, menciptakan ketidakpastian politik.