Mohon tunggu...
Syarwan Edy
Syarwan Edy Mohon Tunggu... Mahasiswa - @paji_hajju

Membaca akan membantumu menemukan dirimu.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pantai, Langit dan Kamu

28 Desember 2024   22:11 Diperbarui: 28 Desember 2024   22:11 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pantai, Langit dan Kamu

Kau seperti ombak yang datang dan pergi, menyentuh hatiku dengan lembut, lalu menghilang tanpa jejak. Setiap kali aku merasa terhubung, ada rasa nyaman yang mengalir dalam diriku, tetapi secepat itu pula kau pergi, meninggalkan kerinduan yang mendalam. Seolah-olah aku terjebak dalam sebuah lagu yang indah, namun tak pernah bisa menyentuh nada yang tepat.

Di pantai, setiap butir pasir menjadi saksi bisu perjalanan kita. Kita berlari di bawah sinar matahari, tertawa, dan berbagi cerita. Namun, saat ombak menghampiri, aku tahu semua itu hanyalah sementara. Ketika kau pergi, pantai ini terasa sepi, seolah kehilangan warna dan kehidupan. Hanya ada kesunyian yang menghantui, mengingatkanku pada momen-momen indah yang takkan pernah kembali.

Langit yang membentang luas di atas kita adalah jendela bagi impian dan harapan. Namun, saat awan kelabu mendekat, aku merasakan ketakutan bahwa semua itu akan sirna. Seperti senja yang perlahan tenggelam, cahaya harapan pun pudar bersamamu. Aku ingin terbang bersama awan, namun aku terjebak di bawah langit yang penuh air mata.

Hujan yang turun adalah lagu sedih yang dinyanyikan langit untukku. Setiap tetesnya menyentuh kulitku, mengingatkan akan kehadiranmu yang kini hanya bayang-bayang. Saat langit menangis, aku pun tak bisa menahan air mata. Kita pernah berdiri di bawah hujan, berjanji untuk saling melindungi, tapi semua itu hanyalah kenangan yang kini terasa menyakitkan.

Kau adalah puisi yang ditulis Tuhan, satu-satunya yang mampu mengisi kekosongan jiwaku. Namun, puisi itu kini terhenti, tak ada bait yang tersisa untuk dibaca. Setiap kali aku mencoba mengingatmu, hanya ada kesedihan yang menghantui. Sekarang, aku hanya bisa menatap langit, berharap bisa menemukan kembali makna dalam setiap baris puisi yang hilang.

Di balik deburan ombak, aku mendengar bisikan namamu. Setiap kali laut bergetar, hatiku pun ikut bergetar. Namun, ketika aku merentangkan tangan untuk meraih mu, kau selalu menjauh. Seolah-olah kita terpisah oleh ruang yang tak terjangkau, meski kita pernah berbagi detak jantung yang sama. Kini, aku hanya bisa mengenang setiap detik itu dengan penuh rasa sakit.

Saat senja datang, aku teringat pada semua janji yang pernah kita buat. Namun, senja tak pernah abadi. Ia pergi dengan keindahan yang menyakitkan, meninggalkan gelap yang menggerogoti harapanku. Tanpa kehadiranmu, hari-hariku terasa monoton, seperti malam yang tak pernah berakhir. Betapa aku merindukan sinarmu, yang selalu bisa menghangatkan hatiku.

Laut yang luas adalah gambaran hati yang terbelah. Dalam setiap ombaknya, ada harapan dan kerinduan yang tak kunjung padam. Namun, aku tahu, meski laut bisa menampung segala rasa, ia tak bisa menggantikan kehadiranmu. Di sinilah aku terdampar, menunggu dengan penuh kesabaran, berharap suatu saat kau akan kembali.

Langit yang cerah seolah menipuku, membuatku merasa seakan segala sesuatunya baik-baik saja. Namun, di dalam hatiku, ada badai yang tak kunjung reda. Setiap detik yang berlalu tanpa hadirmu adalah sebuah siksaan. Aku ingin berteriak kepada langit, menanyakan di mana dirimu, mengapa kau pergi tanpa memberi tahu. Tetapi, hanya angin yang menjawab, membawa jauh pesan rinduku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun