Paket stimulus yang disiapkan pemerintah seolah menjadi pelipur lara. "Bantuan beras 10 kilogram? Itu hanya cukup untuk satu minggu!" keluh seorang nenek, mengingatkan semua orang bahwa subsidi tidak bisa menggantikan pendapatan yang hilang. Memang, beras tidak bisa dibeli dengan harapan.
Reaksi publik terhadap kenaikan PPN ini cukup jelas: skeptis. Banyak yang merasa terjebak dalam permainan catur yang tidak mereka pahami. "Mendukung pelaku usaha? Tapi siapa yang mendukung kami?" teriak seorang buruh, menunjukkan bahwa kebijakan ini hanya menguntungkan segelintir orang.
Sementara itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, berusaha menyeimbangkan antara data dan masukan. "Kami mendengarkan suara rakyat!" katanya. Namun, suara rakyat yang dimaksud sepertinya hanya suara yang terkurung dalam ruangan rapat yang kedap suara.
Situasi semakin rumit ketika pemerintah mengumumkan bahwa kenaikan PPN akan berlaku pada 1 Januari 2025. "Apa kita harus menunggu hingga tahun baru untuk merayakan kesengsaraan?" tanya seorang pemuda sambil tersenyum sinis.
PPN 12 Persen: Pajak atau Patah Hati?
Kenaikan pajak ini terasa seperti lelucon buruk yang terus berulang. Setiap tahun, rakyat diajak untuk tertawa, tetapi kali ini, tawa itu terasa pahit. "Kami tidak ingin menjadi komedian dalam panggung sandiwara ini," ujar seorang pengunjuk rasa yang menuntut keadilan.
Kenapa PPN 12% Harus Ditolak?
- Gaji Naik Tipis Harga Melonjak Jauh
Gaji memang naik sekitar 6,5%, tapi kenaikan harga akibat PPN 12% jauh lebih tinggi.
- Beban Kelas Menengah Meningkat
Pengeluaran makin besar, pendapatan tetap. Uang bulanan jadi gak cukup buat kebutuhan sehari-hari.
- UMKM Akan Terancam
Bisnis kecil makin susah: biaya produksi mahal, pelanggan berkurang, banyak usaha gulung tikar. Lapangan kerja ikut hilang.
- Selisih Kecil Tapi Dampak Besar
Harga Rp100.000 jadi Rp112.000. Selisih kecil? Dalam satu bulan, jumlahnya bisa puluhan ribu. Dalam setahun, jadi jutaan rupiah! Sedang gaji segitu-gitu aja.
- Beban untuk Rakyat Untung untuk Atas
Rakyat dipaksa bayar defisit APBN, tapi orang kaya dan perusahaan besar tetap dapat keringanan pajak.
Sementara itu, barang-barang mewah ditargetkan untuk dikenakan PPN yang lebih tinggi. "Jadi, salmon yang kita beli untuk pesta akan dikenakan pajak, tetapi ikan asin tidak?" tanya seorang ibu dengan nada ingin tahu. Ini adalah logika yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang mengenakan jas dan dasi.
Dalam dunia di mana pajak seolah menjadi alat untuk mengekang, para pengunjuk rasa bersatu. "Kami tidak hanya melawan pajak. Kami melawan ketidakadilan!" teriak mereka serempak. Ini adalah momen di mana suara rakyat bersatu dalam satu irama.
Dari semua kebijakan yang dikeluarkan, satu hal yang jelas: rakyat tidak percaya lagi pada janji manis. "Insentif itu seperti gula di atas kue basi. Tidak akan mengubah rasa pahitnya!" ungkap seorang aktivis dengan semangat membara.
Dengan semua kebingungan ini, satu pertanyaan terlintas di benak semua orang: "Siapa sebenarnya yang berkuasa di negeri ini?" Dengan kehadiran massa yang terus mendesak, mungkin waktu untuk perubahan semakin dekat.