Senja mulai merangkak turun, dan aku terdiam, terjebak dalam lamunan yang dalam. Deru ombak di kejauhan seakan menggila, mengingatkanku pada luka yang tak kunjung sembuh. Dingin malam mulai meluap, membalut ku dalam kesunyian yang menyakitkan. Gerimis tiba-tiba mengundang, menambah rasa sepi yang sudah mengakar dalam jiwa, seolah mengingatkan akan kisah-kisah yang mengarungi lautan resah.
Dalam kebisingan yang menghantui, air mata mulai tumpah, membentuk telaga kecil di antara kenangan yang tak lagi asing. Di tempat yang pernah kita lukis dengan tawa, kini hanya ada jejak-jejak kesedihan. Tepat di saat jiwa-jiwa mengucapkan selamat tinggal, aku mencoba mencari tempat untuk duduk, menikmati setiap bab getir yang tersisa.Â
Udara malam terasa berat, seolah merangkul nasib yang kepalang. Namun, dari kejauhan, ada suguhan senyum yang melengkung ramah, indah di pandang. Sesaat, deburan gelombang menghantam tiang mimpi, dan sosok itu mendekat dengan cara yang sederhana, meski rasa sepi masih mencekam. Dalam keremangan, senyum itu membawa secercah harapan.
"Bisa kita bicara sebentar?" tanyaku dengan suara pelan, berusaha mencairkan suasana yang kaku.Â
"Hai, kamu apa kabar?" Pertanyaan itu terucap, meski aku tahu jawabannya mungkin hanya akan membawa kembali kenangan yang menyakitkan. Cerita indah ini akan dikenang sepanjang masa, meski terpinggirkan oleh waktu.
"Kita adalah kehangatan sementara, bukan genggaman yang abadi," jawabnya, suaranya lembut namun penuh makna.Â
"Kita masih bisa saling sapa, kan? Walaupun hati kita tak lagi bertanya panjang lebar." Mendengar itu, aku merasa seolah ada harapan yang terbangun kembali, meski samar.
"Tak perlu memaksakan untuk tetap bertahan," lanjutnya. "Dengarlah, berpura-pura itu bukanlah hal yang menyenangkan. Kau berhak menetapkan pilihan." Kata-katanya mencabik-cabik hatiku, mengingatkanku pada realita yang tak bisa dihindari. Aku masih di sini, berusaha memulai hari dengan penuh ikhlas, meski lelah merayap masuk ke dalam jiwa.
Hari-hariku kini terasa penat, hingga asa pun mulai ikut payah. Perlahan, lirih, aku merasakan betapa kita sama-sama merobek segenggam harapan. Luka yang aku bawa dan tawa yang kau dekap saling melengkapi, menciptakan mimpi di pelataran memerah rasa. Merindukanmu layaknya ritual patah hati yang selalu terulang, saat kita bersama dalam tawa, warna, dan bahagia.
Aku adalah ikhlas mu yang paling sungguh, meski kini harus merelakan semua. Dalam perjalanan waktu, aku sadar sosok itu telah pergi, tak akan pernah kembali. Setiap detik yang berlalu menjadi saksi bisu akan kisah kita yang terpendam. Dalam setiap hembusan angin, ada namamu yang terus terulang, meski tanpa kehadiran.