"Ya, baliho para pejabat? Tidak hanya di jalan, di area bencana dan tempat suci juga banyak," jawabku.
"Kenapa partai politik terus membagikan kaos pemilu dan mendukung omong kosong dari para politisi?" bisik Bitu.
"Negara ini perlu regenerasi. Generasi yang tidak terjebak dalam janji-janji yang sudah basi. Hama paling menakutkan bagi petani bukan tikus atau serangga, tetapi manusia. Mereka menjanjikan ketenangan saat kampanye, setiap kata dirangkai dengan indah, tetapi ingatlah, semua makhluk pasti merasakan kematian, patah hati dan penipuan dari para politisi."
"Apakah kita sudah merdeka dan menerapkan nilai-nilai Pancasila?" tanya Bitu.
"Kita sudah merdeka dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Kita bebas dari penjajahan. Percayalah, ini ungkapan tulus dari hatiku."
"Apakah hukum keadilan terpengaruh oleh politik?" tanya Bitu bingung.
"Hukum keadilan tetap berjalan sesuai jalannya, tidak terpengaruh oleh politik. Kita hidup dalam demokrasi, di mana hak asasi dan kritik dihargai serta dijunjung tinggi."
"Kita telah merdeka dan hidup dalam toleransi. Nasib kita diatur oleh penguasa untuk masa depan yang lebih baik," ujar Bitu, menepis keraguan yang selalu menghantui dirinya.
"Ya, kita saling menghargai dan tidak lagi memilih untuk menindas. Kita sembuh dari masa lalu," kataku di bawah langit berbintang dan bulan sedang manja-manjanya.
Bitu berkata, "Semoga kita tidak merayakan demokrasi tetapi membungkam suara-suara kritis."
"Tak, tidak," jawabku, menghangatkan suasana yang mulai perlahan menyerang pada kenyataan.