Benarkah kita memilih hancur dan abadi dalam rasa sesal? Kita harus menolak patuh pada patah diatas tanah semesta.
Ketika patah terjadi, baik itu patah tulang, patah hati, ataupun patah semangat, seringkali kita merasa terpuruk dan putus asa. Tubuh atau mental kita tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Namun, bukankah justru disitulah letak tantangan kita? Untuk bangkit kembali dan melampaui patah yang kita hadapi.
Menolak patuh pada patah bukan berarti menentang kodrat alam atau mengingkari realita. Sebaliknya, hal ini menunjukkan kekuatan karakter kita, kemampuan untuk berjuang dan bertahan. Patah bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah proses untuk menjadi lebih kuat dan tangguh.
Ketika kaki patah, kita terpaksa menggunakan kursi roda untuk sementara waktu. Namun, kita tidak berhenti berusaha untuk dapat berjalan kembali. Kita melakukan terapi, latihan fisik, dan segala upaya untuk pemulihan. Begitu juga dengan patah hati atau patah semangat, kita harus berani untuk tidak patuh, untuk bangkit dan memulihkan diri.
Menolak patuh pada patah bukan berarti menyangkal atau menghindar dari rasa sakit. Justru sebaliknya, kita harus menghadapinya dengan berani. Menangis, meratap, atau marah adalah bentuk pengakuan atas rasa sakit yang kita alami. Namun, kita tidak berhenti di situ, kita terus bergerak maju.
Sering kali, orang-orang di sekitar kita akan memberi saran untuk "menerima dengan lapang dada" atau "pasrah saja." Namun, kita harus berani menolak saran-saran tersebut jika kita merasa bahwa kita masih memiliki kekuatan untuk berjuang. Patah bukan berarti harus menyerah, melainkan sebuah kesempatan untuk menunjukkan ketangguhan kita.
Menolak patuh pada patah juga berarti tidak menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi. Patah bukan merupakan hukuman atau konsekuensi dari kesalahan kita. Kadang, hal-hal tersebut terjadi di luar kendali kita. Yang terpenting adalah bagaimana kita merespon dan bangkit dari patah tersebut.
Proses pemulihan dari patah memang tidak mudah dan membutuhkan waktu. Namun, setiap langkah kecil yang kita ambil, setiap kemajuan yang kita raih, adalah bukti bahwa kita tidak patuh pada patah. Kita terus berjuang, terus berusaha, dan terus memperbaiki diri.
Menolak patuh pada patah juga berarti tidak membiarkan patah mendefinisikan atau membatasi diri kita. Kita harus terus berusaha untuk melampaui batasan yang diciptakan oleh patah tersebut. Patah bukanlah akhir, melainkan sebuah tantangan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita.
Ketika kita berhasil menghadapi dan bangkit dari patah, kita akan mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dari sekedar pemulihan fisik atau mental. Kita akan memperoleh rasa percaya diri, ketangguhan, dan kebijaksanaan yang tidak dapat diperoleh dengan cara lain.
Menolak patuh pada patah adalah sebuah perjuangan, namun juga sebuah kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Dengan keyakinan, kegigihan, dan dukungan dari orang-orang di sekitar kita, kita dapat melewati patah dan menjadi versi diri yang lebih baik. Patah bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan kita yang lebih kuat dan penuh makna.
Paji HajjuÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H