"Kuliah di mana? Jurusan apa?"
"Gimana skripsinya? Kok belum lulus?"
"Kapan nikah? Udah umur segini lho!"
Semua pertanyaan ini akan aku jawab dengan "doain aja yaaa" karena bahasa cinta paling liar itu banyak dan yang paling jujur ialah doa. Tetaplah memaafkan, walaupun tak bisa dilupakan.
Teruntuk langit yang bercanda, kita harus senantiasa ikhlas menerima menjadi diri sendiri. Mungkin semesta sedang berusaha menyatukan sepi di beberapa kepingan sunyi, sebelum ia memulai menulis jalan yang kering kerontang untuk rindu ini. Tetapi angin yang lembut sudah mengabarkan sebuah kabar tentang kehidupan harus tetap dirayakan walau penuh dengan misteri panjang tuk menjalani hari-hari.Â
Sabar adalah kunci tuk kuatkan diri ketika tidak ada yang peduli, dan ikhlas merangkul segala bentuk kekecewaan yang telah terjadi. Mari berdamai dengan hal-hal yang tidak bisa diubah, mari mengikhlaskan hal-hal yang sudah kita lewati. Dan mari melanjutkan hidup dengan versi terbaik dari diri kita. Dan ketahuilah bahwa, beberapa hal hanya ditakdirkan kita kejar tanpa kita miliki.Â
Beberapa lagi hanya ditakdirkan untuk kita perjuangkan tanpa kita capai. Terkadang garis akhirnya itu bukan hanya soal mendapatkan, tapi berhasil tumbuh dalam perjalanan.
Gerimis bertamu dan bangunkan aku dari lamunan. Sebenarnya aku ingin sekali segera pulang, lalu berbagi cerita dengan tenang bersama sanak keluarga. Kutahu pasti, rumah berarti pulang.Â
Namun, bagaimana kita menerjemahkan kata pulang bagi setiap yang melihat dengan rasa ketakutan yang membara? Aku mencoba berdamai dengan diri, lalu menerjemahkan debar yang tak mempunyai tempat untuk pulang diantara semua tempat yang paling sunyi di muka bumi, dadaku yang paling sering ia tempati dengan rindu yang panjang tanpa temu, tanpa jemu. Tapi bagi mereka yang menerjemahkan pulang sebagai rasa, mungkin saja setiap pergi bisa jadi ialah pulang.Â
Lalu akhirnya aku dapatkan beberapa cerita, yang sengaja disimpan sebagai kenangan. Biarpun ia sudah lama tak terjamahkan, kucoba tuliskan dengan rapi di relung hati itu sudah cukup untuk redamkan rinduku kepada masa dulu dan hal ini tidak mungkin kembali lagi.
Aku sendiri, menikmati hangatnya kopi puisi pagi ini, dan dengan senang hati mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri. Kita adalah semusim rindu, sebatas lalu, hilang, dan abadi dalam ingatan yang dilupakan dengan sukarela. Idul Fitri adalah waktu untuk memperbaiki, memaafkan dan merenung.Â