Sedikit Penjelasan Bagaimana Hubungan Patron-Klien Pada Masyarakat Khususnya di Sulawesi Selatan
Pada hari rabu (27/04/2016) setelah seharian telah melakukan aktivitas yang seru pada hari itu. saya menutup aktivitas saya di kampus dengan mata kuliah tambahan antropologi pada sore harinya.
Tepat pada hari itu kami membahas mengenai Hubungan Patron-Klien Pada masyarakat bugis dan Makassar di Sulawesi selatan. Yang menurut saya, Pembelajaran kali ini sedikit tidaknya saya mengerti mengenai kebudayaan bugis dan Makassar yang termaksud dari asal saya sendiri. Dan ketika pembahasan tersebut berlangsung saya sedikit membandingkan bagaimana hubungan patron-klien sesungguhnya yang bisa saya gambarkan di kehidupan nyata.
Secara umum hubungan patron-klien bisa di golongkan sebagai hubungan yang tidak sejajar (tetapi secara teoretis tidak mengikat) antara atasan (patron atau pemimpin) dengan sejumlah bawahan (klien, pelayan, atau pengikut). Berdasarkan pertukaran pelayanan yang asimetris, di mana secara de facto patron tergantung kepada para klien yang memberikan pelayanan Cuma – Cuma yang bisa mencakup kewajiban secara ekonomis, tugas – tugas berupah atau tidak, menjadi prajurit perang, dukungan politik dan pelayanan lainnya, di imbangi dengan peran patron untuk menjadi figur pemimpin bagi semua klien dan pemberian bantuan, termasuk pinjaman uang dan perlindungan , yang di sediakan sang patron jika diperlukan.
Contohnya sederhana, Seperti di sebuah kerajaan yang rajanya sebagai patron atau pemimpin dan para pelayannya sebagai klien atau para pengikutnya.
Diantara ilmuan pertama yang mengenali dan menganalisis hubungan patron-klien di Sulawesi selatan adalah H. Th. Chabot. Chabot yang mengidentifikasikan apa yang dia namakan “sistem pengikut”. Yang meliputi seluruh jaringan hubungan yang terjalin antara raja atau tuan (Karaeng) dengan sejumlah pengikutnya yang dia sebut anak – anaknya (anaqna) , atau orang – orangnya (taunna). Walau para pengikut berada di bawah kendali tuannya, namun kedua belah pihak dalam hubungan seperti itu sebenarnya saling membutuhkan. Menurut Chabot, hanya lewat hubungan tidak setara seperti itulah kerja sama bisa di jalankan di wilayah itu. Karena hubungan yang di jalin oleh orang sederajat hanya akan melahirkan kompetisi atau persaingan, karena orang sederajat, terutama yang berstatus tinggi, selalu ingin mengalahkan atau berbuat lebih baik daripada orang yang sederajat dengannya (Chabot 1950:102-12)
Seseorang yang mengaku seorang bangsawan sebagai tuannya (karaeng) akan selalu bersedia mengikuti (minawang) dan mematuhi keinginannya, misalnya, jika dipanggil oleh karaeng untuk menemaninya berburu atau melakukan perjalanan. Dia selalu siap bekerja di sawah sang karaeng, dan jika karaeng mengadakan pesta, para pengikut akan menyumbangkan uang atau hadiah serta membantu mengerjakan tugas – tugas di rumah tuannya. Sebaliknya, seorang tuan akan melindungi pengikutnya: jika pengikut diperlakukan buruk, sang tuan akan membelanya, jika pengikut dihina, tuan akan menganggapnya sebagai penghinaan terhadap dirinya.
Sedikit yang bisa saya paparkan mengenai patron – klien pada lingkungan masyarakat. Saya hanya dapat menjelaskan sedikit dari penjelasan dosen di kampus dan sedikit membaca buku mengenai hubungan patron – klien tersebut. Semoga dengan artikel saya ini masyarakat bisa memahami tentang hubungan patron – klien pada masyarakat di sekitarnya ataupun pada kebudayaan di daerahnya.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi kalian dan bila ada kekurangan , tolong sempatkan untuk memberi saran dan komentar untuk artikel saya ini . sekian dan terima kasih :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H