Syarif Hidayatullah. Para ulama madzhab fikih memiliki pandangan yang beragam tentang membaca alfatihah sebagai rukun salat keempat ini. Menurut Syekh Abdurrahman al-Jaziri, dalam kitab Madzahibul Arba'ah, 2013, jld. 2, hlm. 382, pada umumnya pembahasan yang ada dalam perbedaan pendapat tentang rukun keempat salat ini adalah, di antaranya :
Pertama, apakah membaca surat alfatihah merupakan sebuah fardu dalam salat menurut seluruh madzhab fikih?
Kedua, apakah membaca surat alfatihah difardukan pada setiap rakaat salat, baik salat fardu maupun salat sunnah?
Ketiga, apakah membaca surat alfatihah difardukan kepada setiap musalli (pelaksana salat), baik yang salat sendiri (munfarid) maupun berjamaah, baik yang menjadi imam maupun makmum?
Keempat, bagaimana hukum orang yang belum mampu atau tidak mampu dalam membaca surat alfatihah?
Kelima, apakah ada persyaratan tertentu bagi musalli (pelaksana salat) untuk mendengar sendiri bacaan surat alfatihahnya?
Dalam menjawab dari pertanyaan apakah membaca surat alfatihah ini termasuk dalam fardunya salat, sebagaimana dalam sebagian besar masalah-masalah fiqhiyah, para ulama memiliki keragaman pendapat.  Menurut  madzhab Syafii, Maliki, dan Hanbali membaca surat alfatihah hukumnya difardukan pada setiap rakaat salat, sehingga apabila ditinggalkan oleh mushalli maka salatnya tidak sah, baik pada salat fardu maupun salat sunnah. Jika ada pelaksana salat yang lupa, maka ia harus mengganti rakaat yang terlupakan bacaan surat alfatihahnya, dengan sujud sahwi (al-Jaziri, 2013:382).
Sedangkan madzhab Hanafi berpendapat bahwa  membaca surat alfatihah  hukumnya hanya wajib saja, tidak sampai difardukan (setara dengan sunnah muakaddah dalam madzhab lain). Dengan demikian, jika surat alfatihah tidak dibaca oleh mushalli, maka salat tersebut tetap sah. Namun perlu diperhatikan dan dipahami oleh kita tentang bagaimana argumentasi atau alasan dari istinbathul hukmi (penetapan hukum) yang ada dalam madzhab hanafi ini. Tidak difardukannya membaca surat alfatihah sebab madzhab hanafi beralasan bahwa al-Quran tidak menyebutkannya secara spesifik dengan harus membaca surat alfatihah, namun perintahnya bersifat umum, yaitu pada apapun surat atau ayat al-Quran.
Membaca ayat dari al-Quran, dalam madzhab Hanafi  merupakan rukun, yang juga fardu amali, dalam semua rakaat salat sunnah termasuk Witir, dan dalam dua rakaat salat fardu, baik bagi imam maupun bagi orang yang salat sendirian (munfarid), Pendapat mereka ini didasarkan pada surat al-Muzammil ayat 20: "Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Quran". Dalil lain yang dirujuk oleh madzhab Hanafi, adalah hadis Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi saw bersabda: "Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka berwudhulah dengan sempurna, lalu menghadaplah ke arah kitab, lalu bacalah yang mudah bagimu dari al-Quran", dan beliau juga bersabda: "Tidak sah salat kecuali ada bacaan al-Qurannya". Menurut madzhab Hanafi, sebagaimana dijelaskan Wahbah az-Zuhali (2010, jld 2: 38,), batas ayat minimal yang wajib dibaca adalah ayat al-Quran yang terdiri dari enam huruf, misalnya ayat "tsummanadzar" (QS. Muddatstsir : 21), atau ayat "lam yalid " (QS. Al-Ikhlas: 3).
Wahbah az-Zuhali menjelaskan bahwa membaca alfatihah hukumnya wajib menurut Hanafiyah dan hukumnya sunnah pada dua rakaat pertama menurut mayoritas ulama madzhab Hanafiyah. Mengenai bacaannya, sesuai dengan bacaan surat alfatihah. Maksudnya, jika pada salat jahriyyah  (bersuara keras) maka surat atau ayat al-Quran juga dibaca dengan suara keras, sedangkan pada salat sirriyyah (bersuara pelan/menggumam) maka dibaca dengan suara pelan). Wallahu A'lamu bish-shawwab [Esha].
Sumber Pustaka
Al-Jaziri, Syekh Abdurrahman. 2013. Madzahibul Arba'ah, Istanbul Turki: Kitabevi Hakikat, Â jilid. 2.
Al-Zuhaili, Wahbah. 2010. Al-Fiqhu al-Islaamy wa 'Adilatuhu, Jakarta: Gema Insani Press dan Darul Fikr Mesir,  jilid 2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H