Mohon tunggu...
Humaniora

Mengajar dan Mendidik Siswa Melalui Bahasa Cinta sebagai Wujud Membumikan Pendidikan Karakter

24 Maret 2016   09:08 Diperbarui: 24 Maret 2016   09:55 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh:

Syarifudin

Bahasa cinta yang dimaksud adalah bukan selamanya ucapan yang disajikan ketika kita berbicara dengan orang lain, akan tetapi bahasa cinta dalam hal ini adalah sebuah konsistensi antara ucapan yang kita sajikan dengan tindakan yang akan kita lakukan. Seringkali kita melihat seseorang yang menyatakan sesuatu tidak sesuai dengan tindakan yang orang tersebut lakukan. Perlu kita ketahui bahwa tidak semua ucapan yang disajikan oleh seseorang sesuai dengan isi hatinya bahkan dapat membuat orang lain yang mendengar ucapan tersebut menjadi emosional karena tidak sesuai pada tempatnya. Begitu juga halnya dengan seorang guru yang mengajar dan mendidik siswanya dengan menggunakan pendekatan melalui bahasa cinta yang sangat menyentuh hati siswanya ketika sedang dalam proses kegiatan belajar mengajar. Maka dari itu, diharapkan guru bukan hanya dituntut untuk menguasai materi pembelajaran, strategi pembelajaran, media pembelajaran, dan lain sebagainya. Akan tetapi guru harus mampu menampilkan watak dan budi pekerti yang baik terhadap siswanya. Percuma seorang guru mengajar dan mendidik siswa nya untuk melakukan hal-hal yang baik sementara guru tersebut mencerminkan perilaku yang tidak pantas pada saat melakukan kegiatan proses pembelajaran di ruangan kelas. Guru yang baik adalah guru yang mampu menggunakan bahasa cinta ketika sedang berinteraksi dengan siswanya sampai menyentuh hati siswa untuk diterapkan dalam kehidupannya di masyarakat luas.

Pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi siswa secara optimal. Usaha sadar itu tidak boleh dilepaskan dari lingkungan siswa berada, terutama dari lingkungan budayanya, karena peserta didik hidup tak terpisahkan dalam lingkungannya dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah budayanya, sehingga terbentuk kecintaan terhadap budaya bangsa sendiri.

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pendidikan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pendidikan karakter individu seseorang. Secara hakiki manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan (Pusat Kurikulum, 2010).

Hasil kajian pusat kurikulum nasional menyimpulkan bahwa terdapat 18 nilai karakter bangsa yang penting untuk ditanamkan pada diri setiap peserta didik. Nilai karakter bangsa yang dimaksud adalah religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

Proses pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (pengetahuan, sikap, keterampilan) dan fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat yang berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam kontek totalitas proses psikologis dan sosial-kultural dapat dikelompokkan dalam: (1) olah hati (spiritual & emotional development); (2) olah pikir (intellectual development); (3) olah raga dan kinestetik (physical & kinesthetic development); dan (4) olah rasa dan karsa (affective and creativity development). Proses itu secara holistik dan koheren memiliki saling keterkaitan dan saling melengkapi, serta secara konseptual merupakan gugus nilai luhur bangsa Indonesia.

Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam mengajar dan mendidik guru harus mampu membumikan pendidikan karakter kepada siswanya melalui pendekatan bahasa cinta, karena dengan begitu akan memberikan kemudahan bagi siswanya untuk mengetahui segala ucapan dan tindakan yang dilakukan oleh guru tersebut yang merupakan cerminan dalam membumikan pendidikan karakter para generasi muda yang dalam hal ini merupakan cakupan yang mencerminkan muatan isi dari Kurikulum 2013.

Sumber Pustaka: pendidikankarakter.com 

 

syarifudinmbojo10@gmail.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun