Mohon tunggu...
Syarifudin Prama
Syarifudin Prama Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pengelola www.rumputgandum.com dan www.burunggacor.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ujian Nasional, Mafia Jawaban Soal dan Benih Koruptor Baru

14 April 2014   19:05 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:41 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1397451780689923215

[caption id="attachment_303293" align="alignnone" width="300" caption="luluslah dengan jujur"][/caption]

Mulai hari ini adik-adik kita sedang melaksanakan Ujian Nasional (UN). Selamat berjuang ya. Tapi yang membuat saya miris ialah ketika salah satu keponakan saya ditawari contekan lembar jawaban dengan harga mulai dari Rp250.000, Rp500.000, dan seterusnya. Harga yang ditawarkan tergantung pada berapa nilai yang diinginkan dari lembar jawaban tersebut.

Keponakan saya itu bilang bahwa yang mengkoordinir untuk mendapatkan bocoran lembar jawaban ialah murid, atau temannya sesama pelajar, dan bukan guru. Tapi saya tidak percaya jika bocoran jawaban UN itu hanya dikoordinir oleh siswa tersebut. Saya yakin guru dan kepala sekolah juga bermain dalam mafia tersebut. Bahkan tidak Cuma sekolah itu saja, tapi juga pengawas sekolah dan pengawas ujian. Inilah mafia di UN tersebut.

Terbukti ketika guru keponakan saya itu kemudian bilang pada keponakan saya, bahwa dari satu kelas, hanya enam orang yang tidak membeli lembar jawaban tersebut. Kalau guru tersebut tidak terlibat dalam mafia pembocoran soal itu, bagaimana si guru tersebut bisa tahu hanya ada enam orang murid yang tidak membeli bocoran jawaban UN tersebut.

Seminggu kemudian saya mendengar kabar bahwa murid satu kelas yang tidak membeli bocoran jawaban UN itu tinggal tiga orang saja, termasuk keponakan saya tidak membelinya. Padahal sebelumnya masih ada enam orang murid yang mempertahankan kejujuran tersebut. Inilah yang membuat saya miris. Jika dibuat persentase, maka hanya 3% murid yang jujur, dan 97% berbuat curang alias membeli bocoran lembar jawaban UN.

Praktek semacam ini saya yakin juga terjadi di hampir semua sekolah. Terjadi diam-diam, tahu sama tahu, dan tidak ada yang melaporkan. Ingin saya melaporkan hal tersebut, tapi ya hukum di negeri ini tidak pernah tegas dan prosesnya berlarut-larut. Pelaporan kecurangan semacam itu tidak bisa menjadi upaya preventif, tapi lebih pada pembiaran praktek-praktek semacam itu.

Kenapa saya yakin praktek itu juga terjadi di sekolah-sekolah lain? Karena ketika saya tanya pada teman saya yang bapaknya pernah menjadi kepala sekolah, ternyata hal itu juga terjadi di sekolah yang dipimpin teman saya tersebut. Beberapa guru dikoordinir untuk menjawab soal UN kemudian jawabannya dibagikan ke murid-murid. Sang kepala sekolah tentu ingin memenuhi target kelulusan anak didiknya, karena jika dia gagal memenuhi target kelulusan, maka karirnya bisa terancam dan sekolah itu dapat dikenai “sanksi” tidak tertulis atau pun tertulis.

UN yang semula digagas untuk menjadi acuan pencapaian proses pendidikan, ternyata telah berubah menjadi pendidikan pada murid untuk berbuat curang sejak dini. Sejak SD, SMP, SMA, mereka diajar untuk curang saat UN. Kondisi ini tentu membentuk mentalitas anak untuk menjadi orang yang curang, tidak jujur, suka mencari jalan pintas. Hingga ketika dewasa, nilai-nilai tidak terpuji itu terwujud dalam kecurangan-kecurangan dalam skala lebih besar.

Ketika dia mahasiswa, dia akan membeli skripsi. Ketika melamar pekerjaan, misalnya mau jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dia menyuap. Kemudian saat jadi pejabat, dia pun korupsi. Maka jangan heran, korupsi di negeri ini sudah sangat sistematis karena memang sejak SD, SMP, SMA, dan selanjutnya, anak didik diajarkan untuk berbuat curang saat UN.

Jika Anda adalah orangtua murid dan Anda melakukan tindakan dengan membeli bocoran jawaban UN, maka sadarlah bahwa Anda telah mendidik anak Anda untuk menjadi koruptor baru di negeri ini. Saya jadi teringat ketika kuliah di Universitas Gadjah Mada. Saat itu ada beberapa teman saya yang memalsukan tandatangan absen. Kemudian sang dosen memeriksa semua tandatangan kehadiran dengan memanggil nama satu per satu.

Ketika dosen itu mendapati bahwa ada beberapa nama yang tidak hadir, namun mengisi tanda tangan kehadiran, dosen itu langsung mencoret nama mahasiswa itu dan melarangnya mengikuti kuliah selanjutnya. Alias, mahasiswa itu harus mengulang dengan mengambil mata kuliah tersebut pada semester selanjutnya. Dosen saya marah besar, sambil mengatakan, “Negeri ini sudah terlalu banyak melahirkan koruptor. Ini adalah benih-benih penipu dan koruptor. Anda semua tidak boleh seperti ini!”

Kembali ke masalah UN yang sedang digelar mulai hari ini, wahai menteri pendidikan, para pengawas pendidikan, para kepala sekolah dan para guru, sadarlah dengan situasi yang terjadi saat ini. Kalau ada jaminan bahwa soal UN tidak akan bocor, bukan berarti tidak ada mafia yang bermain. Memang, misalnya soal UN itu tidak bocor, tapi ketika sampai di setiap sekolah dan dibagikan, ada beberapa pihak yang kemudian bermain untuk membuat jawaban soal dan dibagikan ke murid-murid yang membayar sejumlah uang untuk mendapatkan jawabannya.

Janganlah UN menjadi lahan baru untuk menciptakan koruptor-koruptor baru secara sistematis di negeri ini. Pecahkanlah masalah ini secara sistematis, bukan menutup mata atas apa yang terjadi di semua sekolah di negeri ini saat pelaksanaan UN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun