Mohon tunggu...
Syarifuddin
Syarifuddin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pewarta warga netizen se-Indonesia
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"perpaduan yang utuh antara sikap, sifat, pola pikir, emosi, serta juga nilai-nilai yang mempengaruhi individu tersebut agar berbuat sesuatu yang benar sesuai dengan lingkungannya" #SARAF_AL_DIN

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penebangan Paksa Pohon Cengkeh Warga di Ranteballa Mencoreng Penegakan Hukum di Indonesia

21 September 2024   11:26 Diperbarui: 21 September 2024   11:26 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Luwu - Belum lama ini, PT Masmindo Dwi Area (MDA) mengeluarkan klarifikasi terkait penebangan paksa pohon cengkeh milik warga Desa Ranteballa, Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu. Namun, pernyataan tersebut menuai kritik dari Rudi Sinaba, SH.MH, praktisi hukum setempat. 

Menurutnya, argumen PT MDA tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Sebagai pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), PT MDA wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemilik lahan sebelum melakukan kegiatan produksi. Selain itu, PT MDA tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pembebasan tanah karena pembebasan tanah untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan oleh pemerintah.

Tim Karyawan PT Masmindo Dwi Area (MDA)/dokpri
Tim Karyawan PT Masmindo Dwi Area (MDA)/dokpri

Lanjut Rudi menyatakan, tindakan PT Masmindo Dwi Area (MDA) tidak berdasar hukum yang berlaku, seharusnya mengacu pada:

1. Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 136 ayat (1) menyebutkan: "Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." Berdasarkan pasal tersebut, PT. MDA sebagai pemegang IUP (sebelumnya Kontrak Karya) wajib menyelesaikan semua hak-hak warga sebelum melakukan operasi produksi.

2. PT. MDA tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pembebasan tanah, karena "pembebasan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum hanya dapat dilakukan oleh pemerintah," sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021.

3. PT. MDA juga tidak termasuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 8 Tahun 2023. Pengadaan lahan untuk kepentingan umum melalui pembebasan tanah hanya berlaku bagi proyek yang dikategorikan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Karena PT. MDA bukan merupakan PSN, tidak mungkin dilakukan pembebasan tanah sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 2 Tahun 2012.

Oleh karena itu, PT. MDA hanya dapat menempuh proses pelepasan atau penyerahan hak melalui mekanisme tawar-menawar dengan pemilik lahan. Jika tidak terjadi kesepakatan harga, PT. MDA tidak dapat secara sepihak menyerobot lahan warga atau merusak tanaman warga karena tindakan tersebut merupakan tindak pidana.

4. Prosedur penitipan ganti rugi atas pembebasan tanah untuk kepentingan umum, dalam hal pihak yang berhak menolak pembayaran, harus dititipkan di Pengadilan Negeri setempat (Pasal 42 UU Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2016), bukan di bank. Dengan demikian, tidak ada dasar hukum bagi PT. MDA untuk melakukan prosedur penitipan ganti rugi tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 2 Tahun 2012, apalagi dengan menitipkannya di bank, yang jelas keliru.

Kesimpulannya, tindakan PT. MDA memasuki lahan warga dan memotong tanaman warga adalah tindak pidana. 

Tindakan warga mempertahankan tanah dan tanaman milik mereka adalah sah dan dapat dibenarkan menurut  hukum.

Warga desa merasa terintimidasi oleh kehadiran aparat keamanan bersenjata yang mengawal PT MDA saat penebangan berlangsung. Hal ini menambah ketegangan masyarakat yang merasa tidak dapat berbuat banyak untuk mempertahankan hak mereka atas lahan yang telah diwariskan turun-temurun. Dampak dari tindakan PT MDA tidak hanya mengancam keberlangsungan ekonomi warga, tetapi juga merusak hubungan sosial dalam komunitas.

Warga Ranteballa menuntut perlindungan hukum dan keadilan terhadap tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh PT MDA. Keberanian warga untuk memperjuangkan hak mereka harus didukung oleh aparat yang seharusnya berfungsi untuk melindungi masyarakat, bukan sebaliknya.

Tantangan besar bagi keadilan dan penegakan hukum di Indonesia kembali terkuak. Dalam konteks ini, semua mata kini tertuju pada bagaimana situasi ini akan berkembang dan harapan untuk tindakan tegas dari pihak kepolisian menjadi semakin mendesak. Warga menantikan adanya kejelasan dan penyelesaian yang adil untuk menghindari kejadian serupa di masa mendatang. Bagaimana pihak berwenang menangani konflik ini secara adil nantinya akan menjadi cermin bagi penegakan hukum di Indonesia. Harapan kami, semoga terjadi penyelesaian yang adil bagi warga Ranteballa. (Tim)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun