Mohon tunggu...
Syarif Thoyibi
Syarif Thoyibi Mohon Tunggu... Belajar Berdamai dengan Kenyataan -

Blogger, Writer http://syarifthoyibi.blogspot.co.id/ https://twitter.com/thoyibig

Selanjutnya

Tutup

Politik

Golput Itu Masih Tetap (Tidak) Seksi!

12 Desember 2015   16:46 Diperbarui: 12 Desember 2015   16:54 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setiap Menjelang Pemilihan Umum baik Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan bahkan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah biasanya fenomena Golput atau Golongan Putih kembali menyeruak. Entah simbol sebuah keprihatinan, tindakan perlawanan, lambang frustasi yang mendalam atau simbol ekspresi ketidakberdayaan secara politik.

Walaupun secara faktual tidak menyebabkan tidak sahnya sebuah hasil pemilihan baik Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan bahkan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah namun realitas penurunan angka partisipasi para pemilik hak suara dalam suatu proses Pemilihan Umum patut mendapat kajian dan perhatian dari semua elemen pengusung demokrasi peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri.

Kalau dilatarbelakangi oleh sebuah keprihatinan, tindakan perlawanan atau simbol ekspresi politik yang tidak terkooptasi oleh sistem yang ada fenomena Golongan Putih selintas mirip dengan tren pergerakan yang berhaluan ‘kiri”. Ketika masih bergelut di sebuah ruang kecil dunia pergerakan mahasiswa pra dan pasca reformasi dulu seolah ada tren di kalangan para aktifis untuk belajar dan terlibat dalam ideologi-ideologi dan organisasi yang berbau “kiri”. Buku-buku dan gambar tokoh-tokoh yang berideologi kiri banyak dicari. Kondisi tersebut seolah ikut melontarkan ungkapan bahwa menjadi “kiri” itu seksi. 

Organisasi dan ideologi yang cenderung “tengah” dan bahkan “kanan” terasa kurang menggigit dan cenderung pro status quo. Ideologi “kiri” seolah menjadi sarana ekspresi yang tepat bagi gejolak jiwa muda yang anti kemapanan, radikal. Kondisi itu membuat organisasi dan ideologi kiri seolah naik daun.

Para aktifisnya akan terlihat kritis, beda dan heroik. Pada akhirnya pergerakan ini hanya seksi pada tingkatan konsep dan idealitas sementara pada tataran realitas kurang mendapat respon yang memadai untuk menjadi suatu kekuatan politik yang patut diperhitungkan. Malah pada akhirnya para aktifis “kiri” banyak yang bergerak ke tengah, entah karena hal-hal yang pragmatis atau sebuah kesadaran bahwa sebuah keterlibatan dalam sistem dengan dukungan politik yang nyata akan lebih memberikan makna pada perjalanan perubahan.

Sikap memilih untuk tidak memilih ini dipopulerkan oleh Arief Budiman  pada Pemilu 1971 sebagai sikap perlawanan terhadap salah satu organisasi sosial politik saat itu yang dia rasa telah mencederai komitmen dan cita-cita awal rejim Orde Baru untuk membentuk sebuah pemerintahan yang demokratis. Sikap ini menjadi bermakna dan heroik karena tergambar vis a vis perlawanan pada sebuah rejim yang saat itu sangat berkuasa.  Keterlibatan dalam instrumen organisasi politik saat itu tidak memberikan harapan yang besar.  Tingkat kooptasi dan konspirasi dari rejim berkuasa sangat kental dan menekan.

Dulu ide dan kampanye golongan putih ditakuti, aktifis yang mengampanyekan golongan putih dianggap musuh negara dan pantas kenai pasal karet dalam Undang-Undang Subversif. Sekarang golongan putih dianggap bagian yang normal dari sebuah dinamika demokrasi. Fenomena semakin menurunya angka partisipasi dalam sebuah pemilihan umum sudah menjadi hal biasa dan semakin menggejala.

Apalagi kalo merujuk data penurunan tingkat partisipasi pemilik hak pilih pada beberapa Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan bahkan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terakhir.  Kondisi ini mengisyaratkan secara jelas bahwa telah timbulnya sikap apatis di kalangan para pemegang hak suara. Untuk konteks Indonesia maka ini bisa dikatakan sebagai sebuah antiklimaks dari demokratisasi yang dibangun sejak lama, atau minimal sejak runtuhnya rejim orde baru.

Ketika kita sepakat bahwa demokrasi sebagai rule of the game dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara kita maka penurunan angka partisipasi politik merupakan kondisi yang tidak bisa dianggap enteng. Penurunan angka partisipasi politik yang semakin ektensif dan meningkat akan mendesakralisasi demokrasi baik itu secara sistem, organ maupun hasil dari proses demokrasi itu sendiri.

Demokrasi akan dianggap sebagai sebuah sistem yang tidak mampu menunjang pencapaian tujuan dan cita-cita berbangsa dan bernegara. Walaupun sejak awal kita menyadari bahwa demokrasi adalah cara bukan tujuan itu sendiri.  Adagium bahwa demokrasi adalah cara terbaik untuk mencapai kesejahteraan masyarakat akan membusuk dengan sendirinya.

Partai politik sebagai organ demokrasi dan eksistensinya merupakan indikator suatu negara dikatakan demokratis akan mendapat akan mendapat porsi “kambing hitam” paling besar terkait apatisme publik dalam sebuah perhelatan demokrasi.  Kalau dikaitkan dengan dinamika politik akhir-akhir ini maka sekarang adalah saat dimana partai politik menghadapi gelombang ujian degradasi tingkat kepercayaan yang hampir-hampir menghempaskan kredibilitas dan prestise partai politik ke titik nadir.

Politik kita seolah terlalu disibukan dengan belitan kasus-kasus korupsi, jejak-jejak permufakatan yang kurang arif atau perilaku-perilaku yang kurang terhormat.  Alih-alih berfungsi sebagai pengartikulasi dan  pengsegregasi kepentingan masyarakat, politik sekarang lebih identik dengan mengartikulasi dan melempangkan kepentingannya sendiri. Diharapkan sebagai pengatur konflik, justru kadang dari dari dunia politiklah konfik itu bermula.

Pimpinan pemerintah sebagai muara dan target utama dari proses politik juga mempunyai peran besar dalam penurunan kepercayaan publik. Di tingkat pusat terkadang ketidakberhasilan eksekutif terhalang oleh dinamika institusi legislasi. Sedangkan di tingkat daerah kekecewaan publik atas situasi yang tidak sesuai dengan harapan akan akan terakumulasi kepada Kepala Daerah. Hal ini terjadi karena kekuasaan dan kewenangan yang besar Kepala Daerah dalam mengelola Pemerintahan Daerah. Sehingga Gubernur, Bupati dan Walikota akan menjadi sasaran kekecewaan masyarakat jika janji-janji saat kampanye dalam pelaksanaannya jauh dari panggang dari api.

Yang menarik adalah kesan posisi wakil Gubernur, Wakil Bupati atau Wakil Walikota, mereka seolah lepas dari ketidakberhasilan kompatriotnya. Ketidakberhasilan Gubernur, Bupati atau Walikota seolah tidak identik dengan nilai minus seorang Wakil Gubernur, Wakil Bupati atau Wakil Walikota. Sehingga terkadang dalam pemilihan Kepala Daerah selanjutnya mereka berhasil mengalahkan mantan pasangannya dahulu. Ini mungkin sebuah permakluman karena publik telah mengetahui keterbatasan kekuasaan dan kewenangan Wakil Gubernur, Wakil

upati atau Wakil Walikota yang memang diposisikan demikian oleh peraturan, sehingga yang mempunyai peran paling besarlah yang layak mendapat depresiasi. Begitu pun sebaliknya kalau prestasi berhasil diraih, Wakil Gubernur, Wakil Bupati atau Wakil Walikota ada dalam bayang-bayang Gubernur, Bupati atau Walikota.

Berdasarkan data-data kuantitatif tingkat ketidakikutsertaan para pemegang suara dalam pilkada-pilkada di Pulau Jawa rata-rata lebih dari 45% dari jumlah pemilih terdaftar.  Kalau ditafsirkan secara kualitatif maka angka itu telah lebih dari sekedar memberikan peringatan bagi proses demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia. Dalam sebuah tulisannya H. Soebagio yang berjudul Implikasi Golongan Putih dalam Perspektif Pembangunan Demokrasi Indonesia (Makara, Sosial, Humaniora, Vol. 12 No. 2 Desember 2008 hal 84-86) menyatakan bahwa secara empirik peningkatan angka golongan putih  terjadi antara lain karena:

  1. Pemilu dan Pilkada langsung belum mampu menghasilkan perubahan berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat;
  2. Menurunnya kinerja partai politik yang tidak memiliki platform politik yang realistis dan kader politik yang berkualitas  serta komitmen politik yang berpihak kepada kepentingan publik, melainkan lebih mengutamakan kepentingan kelompok dan golongannya;
  3. Merosotnya integritas moral aktor-aktor politik (elit politik) yang berperilaku koruptif dan lebih mengejar kekuasaan/kedudukan daripada memperjuangkan aspirasi publik;
  4. Tidak terealisasikannya janji-janji yang dikampanyekan oleh elit politik kepda publik yang mendukungnya;
  5. Kejenuhan pemilih karena sering adanya Pemilu/Pilkada yang dipandang sebagai kegiatan seremonial berdemokrasi yang lebih menguntungkan bagi para elit politik;
  6. Kurang netralnya penyelenggara Pemilu/Pilkada yang masih berpotensi melakukan keberpihakan kepada kontestan tertentu, di samping juga kurangnya intensitas sosialisasi Pemilu secara meluas dan terprogram.

Penutup

            Rakyat (pemegang hak suara) secara sukarela dan dengan kesadaran penuh tidak menggunakan haknya dalam sebuah Pemilu/Pilkada adalah sikap politik. Negara-negara yang usia demokrasinya sudah tua pun malah tingkat partisipasi politik masyarakatnya lebih rendah dibandingkan Indonesia yang relatif masih muda dalam berdemokrasi. Memilih untuk tidak memilih adalah sebuah hak. Apalagi dengan didasari oleh pemikiran-pemikiran yang idealis, kritis atau seperti sebab-sebab yang diuraikan di atas.

Tapi menurut hemat penulis, di era demokrasi sekarang akan lebih elegan bagi para pengusung golongan putih dengan latar belakang sikap ketidakpuasan kepada figur calon atau kekecewaan terhadap kiprah rejim yang berkuasa atau partai politik yang sekarang ada untuk bersama-sama mendirikan organisasi politik dan mengusung figur calon yang sesuai dengan idealitas dan tata nilai dicita-citakan. Sikap tidak memilih akan semakin kehilangan daya ubahnya manakala hanya menjadi ekpresi untuk “beda”, kecuali ketika landasan berpikirnya perlawanan kepada sistem demokrasi itu sendiri. 

Perubahan harus selalu diperjuangkan. Apalagi kalau menyitir syair W.S. Rendra (Alm) bahwa kebenaran itu harus dikabarkan.  Dengan terjun ke alam realitas niscaya jihad politik itu akan semakin bermakna dan bernilai sekaligus lebih berat. Klaim diri sebagai orang “baik” akan lebih menemui kebaikannya jika mau bertarung  mereka yang diklami “kurang atau tidak baik”. Dalam dunia nyata berjalan pada jalur idealisme dan mendengarkan hati nurani terkadang membuat perjalanan menjadi sunyi dan sepi. “Saya ingin hidup, tapi tidak membisu. Sebab diam adalah bentuk lain dari kematian itu sendiri, (Pramoedya A Toer).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun