Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari kelompok Islam lainnya, termasuk pendekatan terhadap hierarki keagamaan. Salah satu fenomena menarik yang sering menjadi bahan diskusi adalah ketiadaan sosok "Habib" dalam struktur maupun tradisi Muhammadiyah. Untuk memahami hal ini, kita perlu meninjau akar sejarah, teologi, budaya, dan beberapa pandangan kritis terkait validitas gelar "Habib."
1. Siapa Itu Habib?
Secara umum, istilah "Habib" merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW melalui jalur Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain. Di Indonesia, gelar ini melekat pada komunitas Arab Hadramaut yang datang dari Yaman dan menjadi bagian dari masyarakat Nusantara sejak abad ke-14. Para Habib dianggap memiliki kedudukan istimewa karena dianggap keturunan langsung Rasulullah SAW.
Namun, validitas gelar ini sering diperdebatkan. Tidak ada bukti ilmiah atau catatan sejarah yang secara absolut memastikan silsilah yang diklaim oleh para Habib. Sebagian besar silsilah ini didasarkan pada tradisi lisan atau dokumen yang sulit diverifikasi secara akademis. Kritik terhadap klaim ini tidak hanya datang dari Muhammadiyah, tetapi juga dari sejumlah sejarawan Muslim yang menyoroti lemahnya bukti otentik terkait jalur keturunan tersebut.
2. Prinsip Teologi Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912 oleh KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Organisasi ini lahir dengan semangat pembaruan Islam (tajdid) yang ingin memurnikan ajaran Islam dari praktik-praktik yang dianggap bid’ah, khurafat, dan tahayul.
Dalam perspektif Muhammadiyah, Islam adalah agama egaliter, di mana kedudukan seseorang di sisi Allah SWT ditentukan oleh ketakwaan, bukan oleh garis keturunan. Oleh karena itu, penghormatan yang berlebihan terhadap individu tertentu karena nasab, termasuk kepada Habib, dianggap tidak relevan dengan ajaran Islam yang murni.
Selain itu, keraguan terhadap keabsahan klaim keturunan Habib semakin memperkuat sikap Muhammadiyah untuk tidak memberikan ruang khusus bagi gelar tersebut. Muhammadiyah berpegang pada prinsip bahwa yang terpenting adalah amalan seseorang, bukan asal-usul keluarganya.
3. Sejarah Muhammadiyah dan Komunitas Arab
Pada masa awal berdirinya, Muhammadiyah fokus pada pendidikan, kesehatan, dan dakwah. Di sisi lain, komunitas Arab Hadramaut yang mendukung tradisi Habib seringkali berafiliasi dengan tarekat sufi dan tradisi Syafi’i yang kental dengan penghormatan terhadap keturunan Nabi.