Ketegangan nuklir di Semenanjung Korea, terutama yang melibatkan Korea Utara, adalah ancaman serius bagi stabilitas global dan kesejahteraan Indonesia. Sejak 2006, Korea Utara telah melaksanakan serangkaian uji coba nuklir yang mengkhawatirkan. Pada September 2017, negara tersebut menguji bom nuklir dengan kekuatan setara 250 kiloton TNT---kekuatan yang 16 kali lebih besar daripada bom atom yang menghancurkan Hiroshima pada 1945, menunjukkan kemajuan signifikan dalam kapasitas nuklirnya [1].Â
Korea Utara juga mengklaim telah mengembangkan teknologi nuklir miniatur yang dapat dipasang pada rudal balistik, meningkatkan potensi ancaman langsung terhadap negara-negara tetangga dan bahkan lebih jauh lagi [2]. Pada 2023, Korea Utara mengklaim telah melakukan uji coba senjata nuklir baru yang dirancang untuk ditempatkan pada rudal balistik antarbenua (ICBM), menandakan langkah besar dalam meningkatkan jangkauan serangan nuklirnya [3]. Selain itu, pada April 2024, Korea Utara mengklaim berhasil menguji coba rudal multi-hulu ledak, yang dapat mengatasi pertahanan rudal di Amerika Serikat bagian kontinental [4].
Meski Dewan Keamanan PBB telah memberlakukan sanksi ketat, seperti pembatasan perdagangan dan penjatahan minyak, serta larangan ekspor produk-produk utama dari Korea Utara, efektivitas sanksi ini sering dipertanyakan. Sanksi sering memperburuk kondisi kemanusiaan tanpa menghentikan program nuklir [5].Â
Dampak dari ketegangan nuklir ini meluas jauh melampaui fluktuasi harga energi. Krisis nuklir dapat menyebabkan kerugian signifikan di berbagai sektor. Ketidakpastian geopolitik dapat menurunkan investasi asing langsung (FDI), di mana investor mungkin menarik diri atau menunda investasi di kawasan berisiko tinggi, yang menghambat pertumbuhan ekonomi global. Penurunan tajam di pasar saham juga mungkin terjadi, yang mengurangi nilai saham dan meningkatkan ketidakpastian ekonomi secara keseluruhan [6].
Gangguan dalam perdagangan internasional merupakan dampak signifikan lainnya. Ketidakpastian mengenai jalur perdagangan di kawasan rawan konflik dapat menurunkan volume perdagangan dan menaikkan biaya transportasi, memperburuk ketidakseimbangan perdagangan global dan mempengaruhi rantai pasokan penting, termasuk untuk Indonesia [7].Â
Ancaman nuklir juga memicu lonjakan pengeluaran untuk keamanan dan pertahanan. Negara-negara yang merasa terancam mungkin akan meningkatkan anggaran militer, mengalihkan dana dari sektor-sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan, serta memperburuk defisit anggaran dan kesejahteraan sosial [8].
Potensi krisis nuklir dapat memicu arus pengungsi besar-besaran jika konflik eskalasi [9]. Negara-negara yang berbatasan dengan Korea Utara atau yang terlibat dalam krisis bisa menghadapi lonjakan pengungsi, membebani infrastruktur dan layanan sosial di negara-negara penerima. Dampak psikologis juga tidak bisa diabaikan; ketakutan akan konflik nuklir dapat mengganggu stabilitas sosial dan kesehatan mental masyarakat global, mengurangi produktivitas, dan meningkatkan biaya kesehatan terkait stres dan gangguan psikologis [10].
Untuk menghadapi ancaman ini, solusi terintegrasi dan inovatif harus diterapkan. Pendekatan diplomatik berbasis multilateral harus diperkuat dengan melibatkan forum internasional seperti PBB dan ASEAN untuk memfasilitasi dialog konstruktif dan perundingan tingkat tinggi. Pendekatan Track II diplomacy juga penting untuk membuka peluang resolusi konflik yang lebih efektif. Track II diplomacy adalah pendekatan non-resmi yang melibatkan dialog antara individu atau kelompok di luar pemerintah resmi [11].Â
Fokusnya adalah membangun hubungan dan kepercayaan serta menemukan solusi kreatif di luar diplomasi formal. Dengan melibatkan akademisi, mantan pejabat, dan pemimpin masyarakat, Track II diplomacy melengkapi diplomasi resmi dengan menawarkan alternatif yang mungkin terlewatkan dalam proses resmi dan membuka ruang untuk solusi jangka panjang.
Selanjutnya, penguatan mekanisme pemantauan dan verifikasi sangat penting dalam upaya non-proliferasi nuklir. Teknologi satelit canggih dan sistem pemantauan real-time memainkan peran krusial dalam memastikan kepatuhan terhadap kesepakatan non-proliferasi dan meminimalisir pelanggaran. Misalnya, satelit penginderaan jauh seperti DigitalGlobe menyediakan gambar resolusi tinggi yang memungkinkan pelacakan pembangunan fasilitas nuklir dan pelaksanaan uji coba.
Diversifikasi energi juga kunci untuk mengurangi dampak ekonomi. Mengurangi ketergantungan pada minyak dan energi fosil dengan investasi dalam energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin dapat mengurangi volatilitas harga energi dan meningkatkan ketahanan ekonomi [12].Â