Mohon tunggu...
SYARIF ALI
SYARIF ALI Mohon Tunggu... Dosen - brief description

Pernah merasa hampa menjadi pejabat struktural yang dihampiri uang dan perlakuan hormat hanya karena jabatan yang disandang. Menjadi Dosen dan tetap mencintai Karate. Senang membaca karena ikut kebiasaan paman dan kakak membaca koran bekas pembungkus bumbu di kampung yang terpencil. Menulis untuk meninggalkan jejak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Agama Sama tapi Berbeda? Apa yang Terjadi Setelahnya?

17 Juli 2023   10:00 Diperbarui: 17 Juli 2023   10:03 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polemik yang terjadi di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun merupakan salah satu contoh perbedaan persepsi atau pendapat yang jamak terjadi dalam masyarakat Indonesia yang diberkahi dengan banyak agama, kepercayaan, dan aliran.

Ponpes Al Zaytun dianggap melakukan sejumlah hal yang kontroversial dengan ajaran Islam seperti menempatkan wanita di barisan pria ketika sholat Idul Fitri bulan April lalu.

Selain Ponpes Al Zaytun, perbedaan tajam juga dialami oleh jamaah Ahmadiyah. Berbagai aksi penyerangan, kekerasan, persekusi, dan lain sebagainya menjadi potret kehidupan jamaah Ahamdiyah di Indonesia (Taqiyuddin, dkk, 2022).

Zakyah, dkk, (2022) mengatakan kekerasan terhadap Syiah yang terjadi tahun 2011, sampai hari ini belum tuntas. Kasus pembakaran, pengusiran dan terpaksa meninggalkan kampung halaman dan menjadi pengungsi mendera fisik dan mental bertahun-tahun hingga mereka diizinkan kembali ke desa kelahiran dengan syarat bermazhab sunni.

Perbedaan pandangan ini seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat meletup dan meluluhlantakkan persatuan bangsa.

Apakah perbedaan pandangan akan terus berlanjut khsususnya dalam konteks keyakinaan beragama di Indonesia?

Mari kita telusuri dari awal peradaban Islam.

Perbedaan tafsir

Seluruh pemikiran dalam Islam harus tegak di atas pondasi Al Qur’an dan Hadist (Abdul Moqsith Ghazali,2021). Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, kanjeng Nabi menjadi satu-satunya rujukan utama dalam menerangkan makna Al Qur’an (Mufassir). Mengapa perlu keterangan Rasulullah? Karena Al Qur’an tidak memberikan penjelasan secara rinci, misalnya mendirikan sholat, melaksanakan zakat, dan mekanisme haji. Karena itu, hadist berfungsi dalam menjelaskan.

Setelah Rasulullah wafat, maka tidak ada lagi rujukan hukum utama untuk memberikan keterangan dan penjelasan. Karena itu muncullah para sahabat yang memberikan penafsiran, diteruskan oleh Tabiut tabi in. Kita juga mengenal kelompok Ahlu sunnah Wal jamaah, Muktazilah, Khawarij, Murji’ah, dan lain sebagainya yang kemudian terlibat perselisihan cara menafsirkan ayat yang berkaitan dengan aqidah.

Selanjutnya para ulama Sunni menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an yang berhubungan dengan hukum atau fiqih, sehingga memunculkan empat mazhab, yakni: Hanafi, Hambali, Syafe’i, dan Maliki.

Sungguh tak terhindarkan perbedaan pandangan dari ke empat imam tersebut.

Islah Bahrawai (Liputan 6, 25/02/2022) mengatakan ”pemikiran setiap manusia selalu berbeda, maka penafsiran terhadap yurisprudensi hukum agama juga akan berbeda. Dari sini lahirlah berbagai perbedaan dari setiap hukum agama, yang kemudian memunculkan madzhab, ijtihad, aliran dan sekte-sekte,”

Bahrawi menambahkan, kita semua hari ini adalah pemeluk tafsir-tafsir itu, dan sudah barang tentu semua mengaku yang paling benar. Klaim ini yang seringkali membuat sebagian orang berusaha mendegradasi keyakinan orang lain.

Jangankan terhadap yang berbeda agama, bahkan kepada yang seagama sekalipun. Seringkali karena keyakinan atas tafsir- tafsir, kita melupakan fungsi dasar agama sebagai norma untuk menertibkan akhlak atau moral manusia. Sungguh tidak mungkin agama diturunkan agar manusia saling hujat, saling serang, terlebih lagi saling bunuh satu sama lain.

Dalam sudut pandang manapun, kondisi seperti itu akan sangat merugikan umat manusia pada umumnya, dan masyarakat dan negara Indonesia pada khususnya (Sintha Wahjusaputri, 2015).

Menegakkan titik temu

Sesungguhnya sila-sila dalam Pancasila sejatinya sudah menjadi titik temu. Kalau kita mengakui Tuhan Yang Maha Esa, maka sesungguhnya yang menghendaki adanya perbedaan itu datang dari Tuhan. Karena datang dari Tuhan yang satu, maka seharusnya tidak ada yang merasa paling benar, tidak ada anarkisme dan tindakan destruktif. Karena benar dan salah Allah yang maha mengetahui (Buya Syakur Yasin, 2019).

Tuhan menghendaki seseorang menjadi sunni, syiah atau aliran lain bahkan agama dan kepercayaan.

Sila kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi penuntun bahwa agama untuk manusia, bukan sebaliknya. Karena semua agama sejatinya berkonsep luhur dengan dasar kemanusiaan dan kedamaian. Menganggap paling benar terhadap keyakinan atau mazhab kita, tidak harus dengan menyalah-nyalahkan keyakinan, aliran, dan agama orang lain.

Jadi titik temu dalam mengelola perbedaan tidak lain adalah Pancasila. “Pancasila bukan hanya telah mempersatukan kita semua, Pancasila juga telah menjadi bintang penuntun ketika bangsa Indonesia menghadapi tantangan dan ujian,” ucap Presiden Joko Widodo dalam peringatan Hari Lahir Pancasila (01/06/2022).

Lebih lanjut Presiden menyebutkan bukti melalui perjalanan sejarah bahwa Indonesia tetap berdiri kokoh menjadi negara yang kuat, karena seluruh elemen bangsa terus sepakat untuk menjadikan Pancasila sebagai landasan dan memperjuangkan Pancasila.

Perbedaan akan tetap berlanjut manakala kita mendahulukan perbedaan dan menganggap diri paling benar. Untuk menghindari konflik dan kontroversi, penting bagi pemeluk agama untuk mengembalikan fungsi agama yakni mengatur sendi-sendi kehidupan manusia dan mengarahkan kepada kebaikan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun