Jack Ma, mantan dedengkot Ali Baba.Â
Setiap pagi saya tiba di Kampus Bela Negara Pondok Labu pukul 6.10 dari rumah yang berjarak sekitar 20.2 KM dengan menumpang bus milik Badan Diklat Kementerian Pertahanan dan Keamanan yang berlokasi di depan kampus. Gambar pertama yang akan saya temui dalam perjalanan menuju ruangan kerja di Lembaga Kajian Ekonomi dan Bisnis setiap pagi setelah menempelkan sidik jari adalah gambarPada awalnya saya tidak begitu peduli dengan Jack Ma, namun karena sering menemukan nama Jack Ma dalam koran eletronik, dan namanya hampir sama dengan aktor idola saya, si Drunken Master, Jackie Chan yang konyol saya mulai membaca tulisan yang memuat cerita Jack Ma. Ternyata si dia pernah jadi guru.Â
Kalau di Indonesia, guru, profesi yang tidak keren-keren amat, gaji kecil, tugas besar untuk mendidik murid menjadi menteri atau jenderal seperti Omar Bakrie, tapi salah-salah bisa digampar oleh orang tua murid hingga gigi palsunya lepas. Seperti kejadian buruk yang dialami oleh Junaidah (59), seorang guru di SDN Keraton, Martapura, Kalimantan Selatan (Kompas.com-06/10/2017).
Namun Jack Ma yang banting setir manjadi bos Ali Baba,ternyata sangat bersyukur mempunyai kesempatan menjadi guru. Jack Ma menyanjung diri sendiri karena dengan menjadi guru dia menjadi pebisnis kelas wahid. "Satu-satunya hal yang membuat ku sukses jadi pebisnis, ya itu--pengalaman ku jadi guru," kata Ma, di forum ekonomi dunia Tianjin-Cina.Â
Menjadi dosen sajalah!
35 tahun saya habiskan menjadi pegawai di kantor pemerintah yang didatangi duit lebih banyak daripada jadi dosen.Kalau kata teman yang sebelumnya jadi pejabat struktural di satu kementerian dan beralih ke dosen untuk urusan uang maka di Kementerian tempat kerja sang teman sebelum jadi dosen ' kentut pun dapat uang' (maaf ya...). Artinya uang halal, haram, setengah halal dan haram bertebaran di kantor tempat bekerja yang lama.
Masalahnya apakah nyaman? Ternyata bekerja di tempat yang 'disamperin uang' cenderung jadi pembohong, pengemis, dan raja tega dan jangan lupa berpotensi banyak musuh. Dihormati karena orang memandang jabatan bukan karena kita sebagai manusia. Konflik tak terhindarkan, setiap hari depresi dan was-was khawatir membuat atasan kesal menjadikan kita canggung, apalagi bagi yang tidaks suka basa-basi.Â
Sekitar tujuh tahun yang lalu maka dengan membulatkan tekad career switch menjadi dosen. Keren dari sisi sosial, karena  dianggap orang yang pintar dan gudang ilmu namun kantong cekak selain ternyata di lembaga pendidikan tinggi juga persaingan, konflik, dan rebutan ceruk duit yang merubah perangai wanita dikenal lembut menjadi kasar atau pria yang selalu bicara moral dan nilai relijius ternyata juga pencoleng. Ternyata lembaga akademisi rupanya  menjadi ladang tempat persemaian tekanan batin juga.Â
Merubah pola pikir
Ah, sudah melakukan career switch masih juga tak nyaman, kemungkinan besar akan tidak nyaman lagi kalau career switch lagi. Kalau begitu perlu perubahan pola pikir.Â
Pertama, uang perlu tapi tidak perlu ngoyo amat dengan uang, karena tempat yang 'beruang' bisa jadi perangkap agar kita terpenjara dalam masalah lagi. Jadi lakukan hal yang tidak biasa. Membaca buku asli dalam bahasa bule dan membuat bahan mengajar dengan menggunakan bahasa bule dan mengajar dengan menerapkan metode dan teknik komunikasi dengan baik semisal intonasi yang cocok, eye contact, body language, dan bahasa gaul, menimbulkan gairah dan kebanggaan. Kalau menguasai materi apalagi mengajar dengan kombinasi bahasa asing dan bahasa lokal akan menambah kepercayaan diri. Jadi menguasai materilah.Â
Kedua, menulis. Nah, ini yang menjadi pembeda dengan dosen lain dengan gelar doktor dan profesor. Senang ketika tulisan dipublikasikan tapi juga tak terbantahkan sedih sangat ketika tulisan ditolak. Tapi menulislah..terus.
Ketiga, bersahabat dan berbagai rezeki dengan siapa saja. Petugas kebersihan, pengadministrasi, satpam, sesama dosen, dan pejabat kampus (ada yang baik dan ada juga yang silau dengan jabatannya sehingga bergaya birokrat).
Keempat, menjaga integritas sebisa mungkin menolak atau mengembalikan uang yang bukan milik kita. Tidak usah ngotot kalau tidak terpilih jadi ini itu atau kebagian sedikit, tertawakan saja nasib yang kurang beruntung itu. Namun kita perlu mengembangkan diri agar paling tidak diingat orang lain bahwa kita mempunyai 'kebisaan'.
Saya masih ingat nasehat Mario Teguh motivator dengan 'salam super' dalam acara 'Mario Teguh Golden ways' bahwa persiapkan diri untuk career switch kalau kita sudah merasa mau atau bahkan mulai menangis jika ingat pergaulan di kantor, sering marah-marah di rumah, murung, sakit-sakitan.Â
Setiap orang tentu ingin hidup bahagia. Namun setiap orang memiliki tolak ukur kebahagiaan yang berbeda-beda, sehingga sulit menentukan satu faktor pasti yang bisa menjamin hidup yang penuh kebahagiaan.
Peneliti Harvard Habiskan 85 Tahun Teliti Kunci Kebahagiaan (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6813140/peneliti-harvard-habiskan-85-tahun-teliti-kunci-kebahagiaan), Ini Hasilnya:
Dari riset ini, tim peneliti menemukan bahwa resep bahagia ternyata bukan karier dan harta yang melimpah, melainkan hubungan positif yang dijalin dengan manusia lain.
Jadi jangan takut merubah haluan karir sejauh sesuai passion.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H