Kedua, menulis. Nah, ini yang menjadi pembeda dengan dosen lain dengan gelar doktor dan profesor. Senang ketika tulisan dipublikasikan tapi juga tak terbantahkan sedih sangat ketika tulisan ditolak. Tapi menulislah..terus.
Ketiga, bersahabat dan berbagai rezeki dengan siapa saja. Petugas kebersihan, pengadministrasi, satpam, sesama dosen, dan pejabat kampus (ada yang baik dan ada juga yang silau dengan jabatannya sehingga bergaya birokrat).
Keempat, menjaga integritas sebisa mungkin menolak atau mengembalikan uang yang bukan milik kita. Tidak usah ngotot kalau tidak terpilih jadi ini itu atau kebagian sedikit, tertawakan saja nasib yang kurang beruntung itu. Namun kita perlu mengembangkan diri agar paling tidak diingat orang lain bahwa kita mempunyai 'kebisaan'.
Saya masih ingat nasehat Mario Teguh motivator dengan 'salam super' dalam acara 'Mario Teguh Golden ways' bahwa persiapkan diri untuk career switch kalau kita sudah merasa mau atau bahkan mulai menangis jika ingat pergaulan di kantor, sering marah-marah di rumah, murung, sakit-sakitan.Â
Setiap orang tentu ingin hidup bahagia. Namun setiap orang memiliki tolak ukur kebahagiaan yang berbeda-beda, sehingga sulit menentukan satu faktor pasti yang bisa menjamin hidup yang penuh kebahagiaan.
Peneliti Harvard Habiskan 85 Tahun Teliti Kunci Kebahagiaan (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6813140/peneliti-harvard-habiskan-85-tahun-teliti-kunci-kebahagiaan), Ini Hasilnya:
Dari riset ini, tim peneliti menemukan bahwa resep bahagia ternyata bukan karier dan harta yang melimpah, melainkan hubungan positif yang dijalin dengan manusia lain.
Jadi jangan takut merubah haluan karir sejauh sesuai passion.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H