Mohon tunggu...
SYARIF ALI
SYARIF ALI Mohon Tunggu... Dosen - brief description

Pernah merasa hampa menjadi pejabat struktural yang dihampiri uang dan perlakuan hormat hanya karena jabatan yang disandang. Menjadi Dosen dan tetap mencintai Karate. Senang membaca karena ikut kebiasaan paman dan kakak membaca koran bekas pembungkus bumbu di kampung yang terpencil. Menulis untuk meninggalkan jejak.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyemai Nilai-Nilai Pancasila dari Rumah Ibadah kepada Anak Indonesia

7 Juni 2023   12:31 Diperbarui: 7 Juni 2023   12:43 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Aktifis dan pengurus mesjid atau musolah secara sistematis dan masif memakmurkan tempat ibadah dengan beragam acara. Mulai dari melakukan ibadah wajib, sunah, memperingati hari besar Islam hingga menyelenggarakan pengajian anak-anak yang berumur empat hingga dua belas tahun yang sedang gemar bermain dan berhati polos. 

Pengajian anak-anak tersebut tentu bertujuan agar bernas muda menjadi paham ajaran agama, terutama dalam mengahapal doa, tata cara solat dan membaca surat pendek dan tentu saja membaca kitab suci Al qur'an dalam bahasa Arab. 

Hanya saja aktivis dan pengurus masjid hanya mengajarkan ibadah ritual saja, sehingga dalam diri generasi muda tersebut lebih mengingat tentang dosa, pahala, neraka, sorga, dan kehebatan Islam di masa lampau.

Dari pengamatan di beberapa mesjid dan musolah, tidak ada program amaliah untuk menceritakan bahwa selain  agama Islam, juga ada banyak agama di dunia ini yang juga berasal dari Tuhan, pencipta semesta alam. Tuhan yang sama menciptakan agama Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Yahudi, kepercayaan, bahkan yang tidak beragama. 

Dampak buruk dari pengajaran yang hanya menitik beratkan pada ibadah ritual, anak-anak  tidak mengetahui, tidak terampil, tidak opimal bekerjasama, dan tidak menjadi peribadi memiliki pengetahuan perbedaan ras, suku, agama, dan ragam budaya yang sejatinya adalah karuania Tuhan yang sama.

Mereka tidak seagama dengan kita

Kalimat itu muncul dari beberapa anak mulut beberapa anak yang berkumpul menyaksikan pemotongan hewan kurban tahun 2022 yang lalu. "Si anu kan agamanya lain, gak usah diajak," ujar seorang anak yang berkumpul menunggu teman lain dengan mengendarai sepeda. 

Beberapa kali penulis mendengar, anak-anak fasih mengucapkan dua kata yang menyiratkan nuansa perbedaan yang seharusnya tidak boleh diucapkan bahkan oleh orang dewasa. "Kafir" dan "Musuh islam" sering diucapkan oleh tunas muda ini di luar bahkan di dalam rumah ibadah. 

Kata 'neraka' dan 'sorga' sangat mempengaruhi anak-anak perempuan untuk memiliki persepsi kepada teman perempuan lain yang tidak menggunakan jilbab. Tidak jarang anak - anak yang dibentuk untuk menjadi solehah ini tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan budaya nasional, seperti mengikuti tarian tradsional, menggunakan kebaya, dan permainan yang melibatkan anak laki-laki.

Anak laki-laki yang masih bersekolah di Sekolah Dasar menjadi kebanggaan sebagian warga karena ketika bulan Ramadhan berperan menjadi petugas untuk membacakan doa dengan lancar dan suara anak-anak yang lucu menggemaskan. 

Namun ketika Hari Raya Idul Fitri ketika ada pembagian amplop untuk anak-anak yang berisi uang ribuan baru, dan ketika si pemberi amplop meminta mengantarkan uang tersebut kepada non muslim maka tanpa sadar mereka mengucapkan "mereka itu bukan Islam". Jadi tidak tertanam dalam diri bernas muda ini bahwa perbedaan itu suatu keniscayaan. 

Suasana seperti ini berpotensi menimbulkan kristalisasi dalam konteks dalam hati anak-anak yang seharusnya penuh keceriaan dengan keberagaman . 

Kembalikan dunia mereka

Kebanyakan kita yang kelahiran tahun 1960an pasti banyak kenangan ketika masih berusia antara enam hingga 12 tahun. Kita banya teman Tionghoa yang bersenda gurau dilapangan sepakbola, berenang, mencuri pepaya. Anak-anak Tionghoa bahkan menjadi tim basket, sepak bola, tim lari estafet yang handal. 

Ada yang mata sipit, berkulit hitam keturuanan India, dan bersuara lantang ala Medan. Perbedaan budaya, ras, agama menjadi bumbu penyedap dalam pergaulan. Tidak mengherankan ada teman Tionghoa yang beragama Budha atau Kristen makan di rumah dengan sayur daun talas, tidur di rumah bahkan di musolah untuk ikut 'ngarak sahur'. 

Banyak yang dapat kita pelajari dari teman-teman dari kaum minoritas pada waktu itu. Karena minoritas, mereka hemat dengan membawa makanan ke sekolah, kebiasaan ini kami ikut. Tim olahraga kami selalu unggul karena peran penting dari teman dari suku, agama, etnis, dan adat istiadat yang berbeda. 

Pancasila menjamin anak-anak untuk bersuka ria dalam keragaman. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan menjadi bintang penuntun bernas muda kita untuk hidup tanpa sekat yang sengaja dibangun dari mesjid atau musolah. 

Rumah ibadah agama apapun dapat membantu membuka cakrawala generasi muda dengan mengajarkan kebaikan sosial, tidak hanya ibadah ritual semata.  Kebaikan atau keadilan sosial, disamping Ketuhanan, dan Kemanusiaan merupakan sila-sila Pancasila yang penting ditanamkan kepada anak-anak melalui ceramah, permainan, lomba dari rumah ibadah. 

Salam Pancasila

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun