Suasana seperti ini berpotensi menimbulkan kristalisasi dalam konteks dalam hati anak-anak yang seharusnya penuh keceriaan dengan keberagaman .Â
Kembalikan dunia mereka
Kebanyakan kita yang kelahiran tahun 1960an pasti banyak kenangan ketika masih berusia antara enam hingga 12 tahun. Kita banya teman Tionghoa yang bersenda gurau dilapangan sepakbola, berenang, mencuri pepaya. Anak-anak Tionghoa bahkan menjadi tim basket, sepak bola, tim lari estafet yang handal.Â
Ada yang mata sipit, berkulit hitam keturuanan India, dan bersuara lantang ala Medan. Perbedaan budaya, ras, agama menjadi bumbu penyedap dalam pergaulan. Tidak mengherankan ada teman Tionghoa yang beragama Budha atau Kristen makan di rumah dengan sayur daun talas, tidur di rumah bahkan di musolah untuk ikut 'ngarak sahur'.Â
Banyak yang dapat kita pelajari dari teman-teman dari kaum minoritas pada waktu itu. Karena minoritas, mereka hemat dengan membawa makanan ke sekolah, kebiasaan ini kami ikut. Tim olahraga kami selalu unggul karena peran penting dari teman dari suku, agama, etnis, dan adat istiadat yang berbeda.Â
Pancasila menjamin anak-anak untuk bersuka ria dalam keragaman. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan menjadi bintang penuntun bernas muda kita untuk hidup tanpa sekat yang sengaja dibangun dari mesjid atau musolah.Â
Rumah ibadah agama apapun dapat membantu membuka cakrawala generasi muda dengan mengajarkan kebaikan sosial, tidak hanya ibadah ritual semata. Â Kebaikan atau keadilan sosial, disamping Ketuhanan, dan Kemanusiaan merupakan sila-sila Pancasila yang penting ditanamkan kepada anak-anak melalui ceramah, permainan, lomba dari rumah ibadah.Â
Salam Pancasila
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H