Banyak lho yang takut pensiun. Pensiun menjadi momok bagi sebagian Pegawai Negeri Sipil (PNS). Terutama PNS yang bekerja di tempat yang basah (bukan dekat toilet, ya).
Kalau sekitar tahun 1980an, Bea Cukai dan Kantor Pajak, misalnya dikenal tempat yang basah dibandingkan dengan guru yang mengajar di sekolah negeri.
Buktinya? Tahun 1980an, guru PNS golongan III belum tentu punya video compact disc (VCD), tapi saudara teman saya golongan I yang bekerja di Bea Cukai punya TV berwarna, VCD, jean levis asli, dan sebagainya. Itu tempat basah.
Ada saudara kenalan saya yang bekerja di Kantor Pajak meminta saya merubah tahun lahir Umurnya akan mendekati batas usia pensiun (BUP) 56 tahun, dia merasa sayang pensiun. "Tolong upayakan biar bisa kerja 2 tahun lagi," tulisnya dalam surat.
Pada kejadian berbeda, ada kerabat yang mengirimkan surat keterangan kehilangan dari polisi  yang menyatakan bahwa dokumen seperti surat keterangan lahir, ijazah dari SD hingga SMA terbakar hangus. Tak lupa, dia mengirimkan foto copy surat keterangan dari Dinas Pendidikan dan Kantor Bupati, seraya meminta data di kantor Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) diperbaharui dan disesuaikan dengan data yang baru.
Namun ketika saya cocokkan dengan data asli di tempat saya bekerja--BAKN (yang memang menggunakan tulisan tangan yang bersangkutan ketika pengajuan calon PNS), tahun lahir yang tercantum di akte lahir baru berbeda, lebih muda 3 (tiga tahun).
Wah, kalau saya lakukan perubahan bisa berabe deh. Teman sekantornya akan ramai-ramai ikut memperbaharui dokumen membuat laporan ke polisi: surat keterangan lahir dan semua ijazah hilang.
Mempersiapkan Masa Pensiun Dari Perspektif Non-tangibleÂ
Persiapan pensiun dapat dilakukan dengan dana yang nantinya dapat digunakan memenuhi kebutuhan sehari-hari pasca pensiun. Tulisan ini, membeberkan strategi menghadapi pensiun yang tidak menitik beratkan pada dana pensiun semata. Namun efektif.
Pertama, perhatikan potensi stress. Kondisi berada di rumah dari pagi hingga sore setiap hari akan mendatangkan kebosanan. Tidur, makan, merokok, nonton TV secara terus menerus bisa memicu ketidak seimbangan.
Begitu juga isteri, yang biasanya puluhan tahun pagi-pagi mengantar suami berangkat kerja hingga ke pagar, tiba-tiba mengalami kondisi berbeda. Suami seharian menghabiskan waktunya di rumah.
Kondisi ini dapat diatasi dengan mengikut sertakan calon pensiunan dan pasangan dalam pelatihan persiapan purna tugas.
Perlu dicatat, tujuan dan topik pelatihan tersebut lebih banyak menyiapkan mental dan tip menjaga kesehatan, bukan diajari bagaimana menjadi wirausaha. Karena selain jumlah nominal uang pensiun PNS cekak, calon pensiuanan belum tentu memiliki lahan, minat, bakat dan keterampilan, misalnya berternak ikan lele.
Bisa jadi usaha budi daya ikan lele atau restoran gagal, dan ini berpotensi menjadi beban psikologis.
Kedua, idealnya memang dari awal masuk kerja sudah melakukan investasi dalam bentuk tabungan, saham, tanah, dan lain sebagainya. Tapi tidak semua PNS mampu melakukan investasi, pendapatan PNS di daerah A akan berbeda dengan PNS yang bekerja di Pemerintah DKI Jakarta atau di Kementerian Keuangan.
Untuk menyiasati ini, lakukanlah investasi sebaik mungkin di pendidikan anak. Berikan stimulasi agar dapat mengikuti sekolah di institusi pendidikan berkualitas dan terkemuka, memberikan fasilitas kamar sendiri, menjaga rumah tetap rapi dan asri, jaga suasana komuniksi tetap cair dan informal saja, misalnya membuat lawakan yang rada-rada gokil baik oleh suami maupun isteri, sehingga setiap hari di rumah dipenuhi kemeriahan dan kasih sayang.
Untuk dicatat, suami yang ikut mengepel rumah, mencuci piring, menyikat kamar mandi, merapikan tempat tidur akan menjadikan house menjadi home. Dan ini akan dicatat dalam memori anak-anak. Demikian juga, suami yang menghabiskan merokok dan ngopi di beranda rumah setiap harinya.
Memberikan perlengkapan peralatan laptop, mouse, printer, buku bacaan yang berkualitas. Rekreasi ke toko buku dan memberikan kebebasan memilih buku akan memberikan pengalaman berharga bagi anak. Â
Boleh saja pakaian, kendaraan dan konsumsi harian kita sederhana, tapi untuk keperluan anak mengikuti ekstrakurikuler, mengikuti kursus bahasa asing, coding, lomba dan kegiatan lain yang diminatinya harus dinomor satukan. Bisa jadi nantinya anak-anak kita lebih mudah bersaing mendapatkan pekerjaan sehingga dapat membantu keuangan keluarga. Ini, investasi sumber daya manusia.
Jepang yang hancur lebih tahun 1945, pada tahun 1990 sudah mampu menjadi raksasa ekonomi. Karena melakukan investasi pada sumber daya manusia.
Ketiga, Hindari hutang ketika memasuki BUP. Hutang piutang harus sudah tuntas sebelum kita pensiun. Sangat berat menjalani masa pensiun dengan beban hutang. Jangan tergiur dengan tawaran bank yang memberikan fasilitas cicilan hingga berumur 75 tahun.
Persiapan pensiun tidak hanya berfokus pada instrument investasi berbentuk uang dengan kalkulasi sekian persen kali sekian persen, namun juga penting bagi PNS untuk berinventasi dalm bentuk non uang.
Semoga bermanfaat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H