Di tengah perjuangan untuk memperluas akses kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan menjadi harapan bagi banyak orang. BPJS Kesehatan memberikan perlindungan kesehatan untuk jutaan warga Indonesia, memastikan mereka bisa mendapatkan perawatan medis meski dengan keterbatasan biaya. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul kenyataan pahit seperti diskriminasi terhadap peserta BPJS masih terjadi, bahkan di fasilitas kesehatan digital yang seharusnya menjadi solusi masa depan. Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar, apakah kemanusiaan bisa dihitung dengan harga?
Diskriminasi Terselubung dalam Layanan Kesehatan
Banyak masyarakat yang bergantung pada BPJS Kesehatan karena keterbatasan ekonomi. Meski sudah membayar iuran bulanan, mereka seringkali merasakan ketidakadilan saat berurusan dengan layanan kesehatan. Tidak jarang, peserta BPJS diperlakukan dengan cara yang berbeda, entah itu dengan waktu tunggu yang lebih lama, kualitas pelayanan yang rendah, atau bahkan akses terbatas terhadap layanan tertentu.
Dalam dunia kesehatan digital, diskriminasi ini semakin terasa. Aplikasi telemedicine dan platform kesehatan digital dirancang untuk mempermudah masyarakat mendapatkan layanan medis dengan cepat dan mudah. Namun, dalam prakteknya, peserta BPJS sering kali diprioritaskan terakhir, bahkan tidak diberikan opsi untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis tertentu. Sebagai contoh, beberapa platform kesehatan digital hanya menyediakan layanan bagi mereka yang membayar langsung atau menggunakan asuransi swasta. Hal ini menciptakan kesenjangan yang semakin lebar antara mereka yang memiliki akses finansial lebih dan mereka yang bergantung pada sistem jaminan kesehatan publik.
Apa yang Mendorong Diskriminasi Terhadap Peserta BPJS?
Diskriminasi terhadap peserta BPJS tidak hanya terjadi di dunia digital, tetapi juga dalam dunia fisik, yakni di rumah sakit atau klinik. Faktor ekonomi sering menjadi alasan utama. Banyak tenaga medis atau penyedia layanan kesehatan yang lebih memilih untuk melayani pasien dengan asuransi swasta karena dianggap lebih menguntungkan. Di sisi lain, pasien BPJS seringkali dipandang sebagai "beban" karena proses administrasi yang lebih rumit atau pembayaran yang mungkin lebih lambat.
Selain itu, stigma sosial juga turut berperan. Pasien BPJS seringkali dianggap sebagai pasien kelas dua yang tidak layak mendapatkan layanan medis terbaik. Kondisi ini semakin diperburuk dengan kurangnya pemahaman tentang pentingnya BPJS sebagai bagian dari sistem jaminan sosial yang mendukung kesehatan rakyat. Akibatnya, peserta BPJS merasa diperlakukan tidak adil dan terabaikan.
Dampak Diskriminasi terhadap Peserta BPJS
Diskriminasi ini bukan hanya berimbas pada kualitas layanan yang diterima peserta BPJS, tetapi juga pada kesehatan mental dan fisik mereka. Pasien yang merasa diperlakukan tidak adil cenderung mengalami stres dan kecemasan yang dapat memperburuk kondisi kesehatannya. Selain itu, ketidaksetaraan ini menyebabkan pasien merasa tidak dihargai, bahkan meragukan efektivitas program jaminan kesehatan yang seharusnya menjadi hak mereka sebagai warga negara.
Penyebaran informasi yang tidak merata dan ketidaktahuan masyarakat tentang hak-hak mereka sebagai peserta BPJS juga turut memperburuk kondisi ini. Banyak peserta BPJS yang tidak tahu bahwa mereka berhak mendapatkan akses yang sama dengan pasien lain dalam layanan kesehatan, termasuk dalam platform digital. Hal ini menunjukkan bahwa masalah diskriminasi tidak hanya bersifat struktural, tetapi juga kultural, yang berakar pada pemahaman yang kurang tentang kesetaraan.