Mohon tunggu...
Ahmad Syarif
Ahmad Syarif Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Jurusan Keuangan islam, UIN Sunan kalijaga Yogyakarta..Penggemar Futsal, Badminton, Travelling dan Buku Filsafat..... Ingat ! alam raya adalah LIAR, GANAS, MISTERIUS, maka tundukkan dia dengan cinta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Indonesia dan Dehumanisasi Intelegensia

14 Oktober 2013   16:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:32 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1381895713661882141

Negara ini direbut oleh para pejuang bukan hanya materi saja yang hilang, kucuran darah pun berserakan beririma layaknya tetesan gerimis hujan. Entah dimana nasib para anak cucu, disaat negara ini terpuruk dalam bingkai semangat kemiskinan. Saya berpikir Tuhan mulai enggan terhadap negara ini akibat hilangnya intervensi transendental dikalangan para pejabat atau mungkin ruh itu telah ada.tetapi hawa nafsu yang berserakan seolah menambah gairah layaknya Tuhan melempar jauh bintang, berserakan tak terbayang jauhnya. Ketika mindset dijadikan acuan tanpa ada bekal rohani, saat itu juga kekuatan humanis hilang bagai buah yang dimakan ulat, masa demi masa berlalu, kendatipun masa tak terlihat, tapi dimensi metafisika yang diangkat mendeskripsikan yang lain, ia memakan moralitas oknum sebagai upaya disintegrasi kerapuhan bangsa.

Tuhan memang indah, dibalik senyuman yang indah nan riang, sebenarnya tersimpan raut wajah muka yang kusam, kulihat Ia sedang berbincang seraya  menatap ke bawah melihat keadaan kaum marjinal, tapi disisi lain prajurit2Nya membawa selembar catatan sebagai notulen hari per hari perihal rapuhnya suatu moralitas bangsa,  Bangsa ini penuh dengan kaum intelektual tapi pola pikir normatif menuai kontroversi dan ancaman, Para ahli berkumandang dalam batin miris layaknya seoarang pahlawan, tanpa memikirkan jutaan auman kaum yang rapuh. Kita berada di dalam negera paradoks, hanya tinggal tirani nan otoriter berstigma apatis, sekularis dan hedonis. Hilangnya nilai2 ontoteologia berdampak suram di mata bangsa, layaklah kami selaku penerus bersikap skeptis melihat hilangnya etika para intelektual. Mereka condong menampilkan political islam ketimbang islamic politics

Agama inferior

Entah darimana saya menyebutnya, tiba-tiba sekilas kata “agama inferior” terlintas di benak saya. Tapi apapun yang terlintas di benak saya. Itulah yang akan saya tulis, ketika kata tersebut bersifat pragmatis, mungkin dengan penalaran deduktif segala hal apapun yang terlintas otomatis bersifat normalisasi, wallahualam. Agama untuk manusia, bukan manusia untuk agama, tidak ada yang salah dengan agama, mungkin hanya hasil pemikiran lembaga yang dijadikan sebagai “agama”. Diisi oleh otoritas segelintir orang terjadi konversi kebenaran sepihak memaksakan kehendak orang lain yang berbeda paham. Saya berusaha mengkritik dibalik mulitdimensional yang terjadi,

Hal baru yang tidak diketahui, pemujaan terhadap materialistik menumbuhkan dogma baru di dalam kehidupan. Adanya kekuatan keilahian telah direduksi segelintir orang yang notabene rasional-intelektualitas. Ini agama telah mendarah daging, padahal Tuhan sendiripun memberikan kebebasan kepada manusia untuk berpikir dan berkreativitas dalam visioner totalitas eksistensi manusia dengan manusia lainnya-habblum minannas, Kekuatan yang lahir di agama inferior ini sama persis dengan orang yang memakan bangkai temannya sendiri, tapi apa mau dikata, interblood yang tumbuh bercirikan paganisme, komparatif-antiproduktif serta eksploratif yang excessive memberikan warna tersendiri dengan lahirnya agama ini. Tumbuh berkembang biak agama ini tak dapat dipungkiri akibat pemujaan terhadap materialistik sehingga mengkonversi etika menjadi dialektikan non-akuisisi implementatif. Saya pribadi enggan berpolemik dalam kerangka parsial-sektarian, mungkin ini jalan terbaik yang layak kita ambil. saya lebih menekankan tumbuhnya koneksi spiritualitas kebudayaan transendental, suatu kebudayaan dimana pola kontektualitas berakulturasi dengan prinsip kemanusiaan.

Kebudayaan aposteriori-transendental

Mungkin ini rumusan kontemplatif-reflektif, ketika manusia dianugerahi akal yang memungkinkan dirinya berdiri bebas untuk menentukan jalan hidupnya dan membuatnya hidup berbudaya. Budaya disekelilingnya membawa angin segar atas rasionalitas. Hidup berbudaya bisa kita interpretasikan sebagai kekuatan untuk menyelesaikan masalah, cara bertahan hidup, eksplanasi deskriptif manusia memilliki diversifikasi aktif dan kreatif berpikir mengenai cara hidupnya.

Eksistensi manusia adalah proses perwujudan dirinya yang total dalam kehidupannya. Rangkaian struktural kedinamisan pola hidup sebagai upaya improvisasi diri dalam rangka interioritas, kualitas dan totalitas yang searah prinsip nilai2 kemanusiaan. Sebagai suatu proses kebudayaan itu terikat nilai2 estetika, logika, epistimologi dan etika. Ketika semua terikat berarti transenden substantif menuju pada rasional, universal-non teologis. Memahami dibalik kerangka semantik multitafsir bisa kita simpulkan kebudayaan ini menjunjung tinggi harkat martabat manusia, kritik atas komparatif-analitik yang menghasilkan kebudayaan baru akibat tidak selesainya problematika yang ada.

Seandainya kita masukkan nilai2 ini dalam Islam, bisa kita beranggapan bahwa sesungguhnya Islam terbuka atas pluralitas agama, budaya, kritik ilmu dan perubahan struktural. Mungkin saya berpikiran liberal, dan anehnya di Indonesia kata”liberal” berstigma negatif, itu yang membuat saya sampai sekarang terheran-heran, apakah telah mati pola pikir demikan, keluar daripada itu semua, yang harus dipahami ketika multikulturalisme, perubahan sosial-politik dan kritik ilmu tidak diterima. Maka sama saja tindakan “bunuh diri” secara kebudayaan telah terjadi, yang berarti tercabutnya ruh kebebasan manusia yang menjadi fundamental eksistensialnya.

Yogyakarta, 12-10-2013 Dibuat pada pukul 03.00 malam WIB *Setiap orang berkarya dari jalur yang berbeda-beda, Tetaplah berkarya dalam kondisi apapun*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun