Struktur pemerintahan yang kompleks, terutama di tingkat daerah, seringkali menjadi hambatan dalam koordinasi antarlembaga dalam merancang dan melaksanakan kebijakan ekonomi hijau. Tumpang tindihnya kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dapat memperlambat proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan langkah-langkah konkret dan kolaboratif antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang mendukung transisi menuju ekonomi hijau, termasuk insentif fiskal untuk industri dan bisnis yang ramah lingkungan, regulasi yang ketat terhadap polusi dan emisi, serta promosi praktik bisnis berkelanjutan.Â
Langkah selanjutnya yaitu mendorong penggunaan transportasi publik dan berkelanjutan seperti kereta api, bus listrik, dan sepeda dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan polusi udara. Pemerintah dapat memperluas jaringan transportasi publik, memberikan insentif bagi penggunaan transportasi ramah lingkungan.Â
Pemerintah juga perlu meningkatkan sistem pengelolaan limbah dan daur ulang untuk mengurangi pencemaran lingkungan dan memanfaatkan kembali bahan-bahan yang dapat didaur ulang. Ini melibatkan kampanye sosialisasi kepada masyarakat, investasi dalam fasilitas daur ulang, dan regulasi yang ketat terhadap pembuangan sampah ilegal.
Menggali potensi otonomi di DKI Jakarta untuk menciptakan ekonomi hijau adalah tantangan yang kompleks, tetapi juga penuh dengan peluang. Dengan kolaborasi antara semua pemangku kepentingan dan adopsi kebijakan yang tepat, Jakarta dapat menjadi pusat inovasi untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, memberikan contoh bagi kota-kota lain di Indonesia dan di seluruh dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H