Mohon tunggu...
syarif ridwan
syarif ridwan Mohon Tunggu... Guru - Lahir di Kab. Maros, Sulawesi Selatan, tahun 1969. Usai menamatkan pendidikan di PonPes Darul Arqam Gombara, Makassar pada 1988. Menetap di Jakarta sejak tahun 88 hingga 2013. Kini menetap di Kab. Serang setelah tinggal di Kab. Tangerang hingga 2013.

Lahir di Makassar 1969. Pest. Darul Arqam 88, LIPIA 93. Kini menetap di Kab. Serang, setelah tinggal beberapa tahun lamanya di Tangerang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saat-saat Terakhir Bersama Ayah

18 Desember 2009   10:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:53 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_39651" align="alignleft" width="166" caption="(Alm) Ayah dan Ibunda tercinta"][/caption]

“Kak, bapa’ masuk rumah sakit”, seru Yusuf, adikku yang ke 3 dari balik telepon.

“Hah, sejak kapan?”, tanyaku kaget

“Jum’at subuh hari ini”.

Berita dari Yusuf sungguh membuatku sangat terkejut, karena hari Rabu kemarin bapa’ (demikian kami memanggil ayah) menghubungiku via telepon dan dengan suaranya yang nyaring ia menceritakan salah satu jari kakinya yang luka dan belum sembuh juga, sambil menanyakan tentang keadaan kami sekeluarga, tak lupa bertanya “Kapan pulang ke Makassar”. Dan saya jawab, “Insya Allah, semoga bulan depan!"

“Memangnya bapa’ sedang sakit apa, suf?” tanyaku penasaran

“Belum ketahuan, sekarang masih menunggu hasil diagnose dokter. Tadi sudah diperiksa dan dirontgen”, jawab adikku.

Saya mulai khawatir dengan kondisi ayah saat ini, apalagi ketika Yusuf menceritakan bahwa kedua kaki ayah tampak membiru dan sulit digerakkan. Juga ditemukan benjolan pada perutnya. Padahal beberapa hari lalu saat ayah menelepon, ia berkata bahwa tubuhnya terasa lebih bugar dan sehat setelah dibekam dibeberapa titik pada tubuhnya; kepala dan punggung.

Jum’at pagi hari itu juga, 11 Desember, saya segera menghubungi travel penjualan tiket bila memungkinkan berangkat ke Makassar pada hari itu juga. Namun apa daya, saya baru bisa berangkat pada hari Sabtu, itupun penerbangan malam hari dengan pesawat Garuda. Tiket pesawat lain yang lebih murah sudah habis terjual.

Tiba di Makassar pada pukul 23.55, setelah mampir sejenak di rumah, bersama seorang tetangga saya segera ke rumah sakit dan menyaksikan ayahanda berbaring tak berdaya di atas bangsal ruang ICCU jantung. Disana-sini selang bergelayutan. Sebelumnya Yusuf menginformasikan bahwa hasil diagnosa dokter menyatakan ayahanda terkena penyakit paru-paru, jantung dan ginjal stadium 5. Ya Allah! Parah benar penyakit yang mendera ayahku, komplikasi! Bila hasil diagnosa dokter menyatakan bahwa ayah terserang penyakit paru-paru, maka itu tidak terlalu mengejutkan. Saya tahu ayah termasuk perokok berat dan berhenti saat didera penyakit.

Saya sendiri, anak-anaknya yang lain dan juga ibunda kami pun tidak bosan-bosannya menyarankan supaya ayah berhenti merokok, dan hasilnya tidak menuai sukses. Beliau hanya berhenti bila sakit, dan saat sembuh, perlahan-lahan ia kembali merokok, terkadang sembunyi-sembunyi di hadapan ibunda. Dan pernah suatu ketika rokok yang ia pegang dipatah-patahkan oleh ibu kami. Apakah ayah marah? Tidak sama sekali. Ayah hanya tertawa melihat ibunda kesel sambil mematahkan rokoknya.

Yang mengejutkan kami karena ayah ternyata terkena penyakit jantung dan gagal ginjal! Itulah yang tidak pernah terbetik dalam benak kami dan sungguh sangat mengejutkan. Anjuran dokter agar ayah segera cuci darah adalah pilihan terakhir. Dan sekenanya pada Sabtu sore itu ayah sudah harus menjalaninya. Namun entah mengapa hal tersebut tertunda dan akan dilakukan pada hari Senin.

Ayah segera memelukku saat menyaksikanku telah berada dihadapannya. Tangannya yang lemah kurus merangkul kepalaku dan mendekapku ke dalam dadanya. “Ya Allah, sembuhkan ayahku, ya Allah!’ Tangisku dalam hati. Mengapa saya begitu bodoh menangkap isyarat yang ayah berikan. Mengapa saya begitu lemah memahami pertanyaan ayah, “Kapan ke Makassar?” bukankah pertanyaan itu isyarat kerinduan, dan sayapun merindukanmu, ayah. Saya kini di hadapanmu, peluklah anakmu, ayah!

Saya lalu duduk di samping pembaringan ayah, membacakan surat Yasin, memperdengarkan kalimat tauhid sambil membacakan doa kesembuhan untuknya. Dan alhamduliLLah, ayah masih sanggup mengucapkan kalimat yang saya perdengarkan, bahkan masih sanggup melantunkan, “HasbiyaLLLah wa ni’mal wakil, ni’mal maolaa wa ni’man nashir”. Cukuplah Allah sebagai pelindungku dan sebaik-baik penolong bagiku. Dan beberapa ayat al-Qur’an yang selama ini ia hafal dengan baik.

Bergantian kami anak-anaknya mulai berjaga mendampinginya. Adik Amil, yang tinggal di Balikpapan tiba hari Ahad sore dan segera dipeluk ayah saat melihatnya. Beberapa kerabat dan keluarga dekat ayah juga datang yang kesemuanya masih dikenal oleh ayah walau dengan pandangan mata sekilas. alhamduliLLah, memori ayah masih sangat baik dengan menyebut nama-nama mereka. Kondisi ayah pada malam itu masih stabil, detak jantungnya pun demikian, walau terkadang meminta agar dibangunkan, berbaring sejenak lalu minta dibangunkan kembali. Ayah seakan merasakan nyeri pada tubuhnya saat berbaring dan kerena itu berkali-kali meminta untuk didudukkan.

Ah, ayah! Tubuh yang dahulu kokoh dan sehat tampak sangat lemah tanpa daya. Selang infus, kateter dan selang lainnya bergelayutan disana-sini. Kami lalu melobi dokter jaga pada malam itu bila memungkinkan bagi ayah melakukan cuci darah sebelum kondisi tubuhnya semakin drop. Namun dokter yang bertugas untuk itu tidak bisa hadir kecuali pada hari Senin nanti. Kami hanya dapat berdoa semoga segalanya berjalan sesuai harapan.

Namun setiap kita hanya bisa berharap, berusaha dan berdoa, dan Allah adalah penentu segalanya. Senin, 14 Desember, usai sholat subuh di masjid, saya segera kembali ke ruangan dimana ayah dirawat. Dan ayah menyambutku dengan tatapan mata yang kian sayu dan tarikan nafas yang semakin berat. Hati saya bergetar hebat. Feeling saya membisikkan bahwa ayah mulai mengalama saat-sat sekarat. Saya lalu mendekatinya, memeluk bahunya dan membacakan kalimat Tauhid (Laa ilaaha IllaLLah) di telinga kirinya, menuntunnya menyambut malaikat maut.

Kalimat Laa ilaaha IllaLLah terus saya talkinkan perlahan-lahan. Sementara di layar monitor denyut jantung ayah semakin drop; 25, 24, 23, dan hanya dalam hitungan detik ayah yang sebelumnya berbaring telentang, tiba-tiba memiringkan tubuhnya menghadap ke kiblat dan meletakkan tangan kanannya di bawah pelipis kanan. Ya Allah! Nafas ayahku kian melambat, semakin berat, lafaz t kalimat tauhid terus saya lantunkan di telinganya, hingga segalanya berakhir.........., dan tangis kami pun pecah………

"Ya Allah, ampuni salah dan dosa ayahku, rahmatilah  ia, terimalah seluruh amal kebaikannya, lapangkan kuburnya, masukkanlah ke dalam syurga-Mu dan satukanlah kami kelak pada tempat yang Engkau redhai di sisi-Mu".

Maros, 15 Desember 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun