Disekitar kita ada orang-orang yang profesi dan pekerjaannya terkadang dipandang rendah dan sebelah mata, namun ia justru dianggap penting saat ia tiada atau ketika ia sedang tidak melaksanakan pekerjaannya. Mereka -antara lain- adalah yang berprofesi sebagai petugas kebersihan atau akrab disebut pasukan kuning, apakah mereka yang ditempatkan di jalan-jalan, di terminal, pasar, atau disekitar rumah kita. Mereka sesungguhnya layak mendapatkan penghargaan tinggi karena tugas mulia yang dilakukannya.
Di antara mereka itu adalah Pa Anda, seorang kakek berusia sekitar 70 tahun yang setiap hari mendatangi rumah-rumah di 4 RT tempat kami tinggal untuk mengambil sampah, menuangkannya ke dalam gerobak kayu, lalu dengan segala kekuatan tersisa yang dimilikinya ia menarik gerobak sampahnya yang telah penuh itu menuju tempat pembuangan sementara yang terletak sekitar 700 meter dari wilayah kami.
Saya mengenal Pa Anda sejak 6 tahun lalu, atau ketika saya tinggal di wilayah Utan Kayu Selatan. Tubuhnya kurus, rambut mulai memutih dan gigi yang sudah berguguran menandakan usia pa Anda yang sudah sepuh. Beberapa hari terakhir saya sudah berniat berbincang singkat dengannya, namun baru sempat saya lakukan pada hari selasa lalu di tengah kesibukannya menunaikan tugas memindahkan sampah warga ke dalam gerobak yang selalu setia menemaninya.
“Maaf Pa Anda, sudah berapa tahun angkut sampah?”
“Yah, sekitar sepuluh tahunlah”. Jawabnya sambil tersenyum
“Ngambil sampahnya, kan, setiap hari, ya, pa?”
"Iyya, setiap hari".
"Trus, kalau berhalangan karena sakit, misalnya, yang gantikan siapa, pa".
"Ada sih, seorang cucu saya yang gantikan".
“Lalu, digaji berapa setiap bulan, pa?
“Ada tiga RT yang masing-masing ngasih 150 ribu, dan satu RT ngasih 200”.
Dalam wawancara singkat tersebut saya jadi tahu, honor yang diterima pa Anda sebesar 650ribu rupiah. perbulan. Salah seorang ketua RT. bernama Bapak Dodoy menambahkan bahwa honor bulanan tersebut di luar tip yang diberikan setiap warga antara 5 ribu hingga 10 ribu rupiah walau jumlah tidak banyak. Hanya disayangkan karena sampah rumah yang akan diangkut ke tempat penampungan sementara tidak dipilah-pilah terlebih dahulu antara sampah organik dan non organik, sehingga volume sampah rumahan setiap hari sangat besar.
Walau usia pa Anda terbilang sepuh dan gaji pas-pasan yang ia peroleh dengan pekerjaan yang cukup berat, namun sepertinya tidak ada pekerjaan lain yang dapat ia lakukan. Ia mungkin menganggap bahwa pekerjaan ini sudah pantas baginya dan ia jalani saja apa adanya. Pa Anda sendiri memiliki tiga orang anak yang sudah dewasa dan telah berkeluarga dan memberinya tujuh orang cucu. Namun demikian pa Anda tetap berharap bahwa upah yang ia peroleh setiap bulan dapat ditingkatkan lagi.
“Pernah sakit apa saja, Pa Anda?”
“Yah, pernah demam saja, sih. Semoga tetap sehatlah!” jawab Pa Anda tersenyum menjawab pertanyaanku. Memang pernah juga beliau sakit selama beberapa hari. Sehingga sampah di setiap rumah warga menumpuk. Ketua RT sempat juga kalang kabut karena tidak menemukan orang yang menggantikan sementara tugas Pa Anda. Akhirnya kawan se-profesi pa Anda yang bertugas di RT lain ditarik sementara waktu untuk menangani wilayah garapan pa Anda.
Itulah sosok pa Anda, sang pengawal kebersihan di lingkungan kami. Usianya yang sudah sepuh tidak menghalanginya untuk tetap bekerja dengan hati tulus; mengangkut sampah warga setiap hari dengan upah pas-pasan. Suaranya yang khas "Sampah, sampah", di telinga warga mengingatkan mereka agar mengeluarkan sampah yang masih berada di dalam rumah untuk segera ia bawa ke lokasi penampungan. Dan seusai menunaikan tugasnya ia bisa kembali berada di tengah keluarganya, bercengkrama dengan cucu-cucuya dan memenuhi panggilan Allah saat adzan berkumandang di masjid yang tak jauh dari rumahnya.
Melihat sosok seperti pa Anda membuat saya terkadang heran menyaksikan orang-orang seusianya, bahkan jauh lebih muda dan tampak lebih bugar dari pa Anda, namun lebih senang mendatangi rumah warga sambil menengadahkan tangan, meminta-minta dan berharap pada belas kasih mereka. Atau mereka yang tetap menganggur karena gengsi melakukan pekerjaan yang dianggap rendah walau halal sekalipun. Atau yang akhirnya mencuri dengan alasan tidak punya uang untuk anak istrinya, padahal ada banyak cara yang benar yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan pendapatan yang halal bila saja ia mau melakukannya.
Utan Kayu, 9 Desember 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H