Memunculkan Tokoh Teladan
Ketiadaan tokoh nasional yang memiliki figur menarik dan dapat dijadikan sebagai uswah dan teladan bagi masyarakat Indonesia menjadi titik lemah pertama yang ada dalam tubuh partai tersebut. Keteladanan yang dimaksud tentu bukan hanya dalam retorika, tetapi prilaku dan akhlakul karimah harus lekat pada diri sang tokoh. Selain itu juga, ia harus mampu menjadi perekat bagi seluruh elemen yang ada dalam partai.
Kita masih ingat bagaimana seorang da'i kaliber kaliber KH. Ustadz Zainuddin MZ, yang pada masa jayanya bergelar Dai Sejuta Umat, toh ternyata juga gagal membangun dan membesarkan partai yang ia lahirkan, dan sejarah Partai Bintang Reformasi (PBR) pun berakhir pada pemilu tahun ini.
Ini tentu saja agak berbeda dengan kekuatan figur yang dimiliki oleh seorang Megawati di PDIP, SBY di Demokrat atau Amin Rais di PAN. Secara umum konstituen PDIP masih memandang Megawati sebagai pelanjut warisan politik Bung Karno yang mengedepankan jargon peduli "Wong Cilik", walau dalam pemerintahan Megawati dahulu peran kepedulian itu tidak terlalu menonjol. Maka eksistensi seorang Ibu Megawati di tubuh PDIP tetap menjadi kekuatan, walau sekaligus titik lemah. Karenanya muncul pertanyaan, "Apakah figur pengganti Megawati kelak dapat melebihi, atau menyamai kekuatan figur putri Bung Karno ini atau tidak."
Demikian pula dengan figur seorang SBY yang membangun Partai Demokrat melalui keberhasilannya mencitrakan diri -atau dicitrakan oleh media- sebagai pemimpin yang teraniaya, yang akhirnya mampu merebut emosi dan simpati masyarakat Indonesia serta mengalahkan Megawati dan Amin Rais pada Pilpres 2004. Dan kini SBY juga berhasil mencitrakan diri sebagai Presiden yang sukses dalam pemerintahannya selama 5 tahun hingga merebut hati 60% suara pemilih dan menang dalam 1 putaran, terlepas dari berbagai kontoversi yang terjadi di dalamnya.
Sampai saat ini kita belum menemukan elite partai Islam yang mampu menyatukan sisi kenegarawanan dan figur ulama yang layak digugu dan diteladani rakyat, khususnya kaum Muslimin. Dahulu kita menitipkan harapan itu kepada seorang Gus Dur. Kita masih ingat bagaimana euforia tokoh-tokoh Islam dan kaum Muslimin khususnya saat beliau mampu meraih kursi nomor 1 negeri ini. Namun harapan itu runtuh saat ia akhirnya harus dipaksa turun tahta karena pemerintahannya yang tidak efektif. Ditambah lagi dengan munculnya sejumlah skandal pribadi yang memperburuk citra dirinya sebagai tokoh Islam.
Apa yang terjadi pada DR. Amin Rais pun tidak berbeda jauh. Bahwa tak seorang pun di antara kita memungkiri bahwa beliau adalah tokoh reformasi yang berhasil menggalang kekuatan massa dan mahasiswa menumbangkan rezim Soeharto yang seakan tak bisa diruntuhkan. Namun, sangat disayangkan bahwa beliau tidak segera merebut momentum tersebut pasca lengsernya Habibi. Ia justru lebih memilih Gus Dur karena tenggang rasanya yang sangat tinggi terhadap NU. Dan setelah PAN ia tinggalkan, namanya pun kian redup seiring tergerusnya suara partai ini pada pemilu 2009.
Selain DR. Hidayat Nurwahid di PKS yang semakin dikenal saat ia menduduki kursi Ketua MPR, kita nyaris tidak lagi menemukan sosok tokoh sentral pada partai Islam lainnya setelah era Gus Dur dan KH. Hasyim Muzadi di PKB, atau DR. Amin Rais di PAN. Apakah DR. Hidayat Nurwahid masih tetap bertahan sebagai ketua MPR periode 2009-2014 dan namanya semakin berkibar sebagai tokoh nasinal yang berasal dari PKS, ataukah namanya juga akan redup seiring lengsernya beliau dari jabatan tersebut? Sekali lagi Keteladanan dan figur negarawan seorang tokoh Islam dalam sebuah Parpol Islam adalah sebuah tuntutan yang tidak bisa dielakkan untuk memperkuat bangunan partai tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H