Anggun sama sekali tidak berubah. Masih mengenakan kaos lengan pendek berwarna putih dan celana jins yang sudah memudar warnanya. Tetap manis, tapi mengapa Anggun tampak begitu lelah? Matanya sayu menatapku. Meski tetap ayu, tetapi wajahnya begitu kuyu. Aku segera bangkit, ku geser kursi dan aku duduk di hadapannya.
"Ada apa sayang? Kenapa kau begitu lelah?"
"Tidakkah kau rasakan hubungan kita ini begitu aneh?" Katanya kemudian. Kuraih kedua tangannya. Begitu dingin.
"Apanya yang aneh?" kutatap tajam matanya. Kini Anggun yang mengalihkan pandangan keluar jendela. Matahari tampaknya benar-benar sudah tenggelam. Anggun kembali menatapku dan bicara pelan.
"Tidakkah kau ingin memiliki masa depan yang nyata? Masa depan yang diimpikan semua orang. Berkeluarga dan merasakan hangatnya dekapan anak-anak?" Ah. Akhirnya Anggun mengatakannya. Sebenarnya aku sudah ragu sejak pertama kali Anggun mengatakan dengan mantap dan tatapan mata tajam mengenai hal sederhana itu. Bahwa ada tidaknya sesuatu adalah ada dalam pikiran kita sendiri.
Waktu itu aku sudah mempertanyakan, bagaimana mungkin aku bisa merasakan bayang-bayang? Anggun tidak menjawab, dia kemudian mendekat dan mengangkat dua telapak tangannya dan merekatkannya pada kedua mataku.Â
Kami begitu dekat sehingga bisa kudengar dia berbisik. "Coba tutup matamu. Dapatkah kau rasakan angin pantai di sini. Begitu segar bukan? Coba kau rasakan telapak kakimu, dapatkah kau rasakan pasir di bawah sana.Â
Sekarang, buka matamu. Lihatlah, kita benar-benar tengah di pinggir pantai bukan?" Saat kubuka mata, aku begitu kaget. Aku benar-benar ada di pinggir pantai. Dan Anggun ada tepat di hadapanku, tetap dengan senyum manisnya. Warna jingga semburat di belakang lambaian rambutnya.
"Apakah kau akan mencabut kata-katamu dulu?" Aku ingin memastikan bahwa kata-kata itu benar-benar berasal dari bibir manisnya itu. Anggun tidak menjawab pertanyaanku, malah berkata,
"Bukankah kau sekarang sudah memiliki Raras. Gadis cantik yang setia datang menemanimu saat aku tidak ada." Anggun melepaskan tangannya dari genggamanku. Anggun melangkah ke arah pintu yang masih terbuka. Di luar gelap sudah turun. Anggun membalikkan badan. Menatap erat ke arahku.
"Mulailah hidupmu dengang kenyataan." Setelah tersenyum, Anggun berbalik dan bergegas keluar. Tiba-tiba saja lenyap ditelan malam. Aku masih terduduk sambil menatap lekat kegelapan di luar.