Berpamitan sering kali hanya dilakukan oleh dan kepada orang-orang tertentu saja. Kepada orang-orang yang kita anggap akan dirindukan dan orang-orang yang akan kehilangan. Berpamitan bisa saja dibumbui dengan isak tangis, atau justru tepuk tangan dan rasa lega. Ada beberap hal yang menentukan kualitas suatu pamitan untuk sebuah perpisahan.
Pertama adalah tentang jarak dan waktu. Semakin jauh dan lama sebuah perpisahan, maka kualitas pamitan itu akan semakin tinggi, demikian juga, semakin dekat dan pendek waktu berpisah, maka pamitan kadang tak berkesan sama sekali.Â
Seorang yang akan pergi keluar kota dalam jangka waktu yang lama, dapat saja dilepas dengan derai dan cucuran air mata, namun jika ada ibu-ibu yang menangis ketika pertemuan arisan rutin usai, justru akan menjadi bahan tertawaan.
Yang kedua adalah kualitas personal orang yang pergi atau ditinggalkan. Seseorang yang kurang begitu dekat, ketika berpamitan akan dilepas begitu saja, meski jarak dan waktu tempuhnya begitu panjang. Namun, seorang yang begitu dekat, begitu akrab, bahkan kadang untuk sekedar perpisahan satu minggu keluar kota, terasa begitu berat.
Yang ketiga yaitu pada tingkat resiko dan kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Meskipun hanya dengan tiga jam, jika melepas suami ke medan perang, seorang istri sangat mungkin tidak kuasa menahan emosi. Begitu juga sang suami akan sangat berat untuk meninggalkan istrinya. Itu semua karena resiko yang dia hadapi adalah sebuah keterpisahan yang teramat panjang, kematian.
Namun, berpamitan ternyata tidak selamanya berujung pada adanya rasa rindu dan kehilangan. Justru kadang ada rasa lega, kebebasan dan kegembiraan. Seorang penjahat yang meresahkan masyarakat misalnya, ketika pagi-pagi buta dijemput aparat, jangan harap akan dilepas dengan pelukan haru atau air mata rindu. Hal ini juga mungkin bisa terjadi pada orang-orang yang secara sosial tidak atau kurang diterima dalam masyarakat. Kalaupun ada pelukan dan air mata, itu hanya sandiwara dan air mata buaya.
Sebuah perpisahan adalah keniscayaan daripada pertemuan. Bahkan kematian adalah bermula dari bertemunya ruh dan jasad. Jadi bersiaplah menghadapi kata pamit dan perpisahan. Karena itu sudah pasti akan kita hadapi. Dalam keadaan seperti apakah kita akan menghadapainya? Semua tergantung pada pilihan anda dan kita sendiri.
Seorang anak manusia, terlahir menangis sementara semua oarang di sekitarnya tersenyum gembira. Namun ketika dia meninggal, dia tersenyum dan semua orang di sekitarnya menangis tak karuan karena merasa kehilangan. Begitu mestinya jalan hidup seorang yang beriman lagi budiman. Kelahirannya begitu dinantikan dan kematiannya membuat semua orang merasa kehilangan.
Namun apa sebenarnya kebersamaan dan apakah perpisahan itu? Sehingga ia menjadi tema sentral umat manusia. Apakah memang harus ada keterpisahan, dan apakah kebersamaan itu benar-benar bisa retak dan berkeping-keping? Apakah benar, jarak dan waktulah yang telah membuat jurang pemisah? Atau justru kekerdilan alam jangkau pikir dan rasa manusia saja?
Dalam banyak firmanNya, Allah menegaskan bahwa Dia selalu bersama orang-orang yang beriman dan beramal shaleh. Bahkan Dia lebih dekat dari urat leher manusia itu sendiri. Semua tergantung pada kedekatan manusia kepada-Nya, satu langkah kau mendekatiNya, seribu langkah Dia kan menyambutmu hangat.
Dari sini sebenarnya dapat kita coba pahami bahwa kebersamaan dan keterpisahan itu jika dimaknai hanya sebatas rentang jarak dan waktu, maka itu hanya keterpisahan jasmani saja. Secara rohani, hanya keingkaran, dendam, dengki dan permusuhan, yang mampu menjadi dinding pemisah. Sehingga mestinya dengan cinta, tidak akan pernah kita kenal kata berpisah. Jadi, bolehlah kita berpamitan pergi kemana saja, tetapi tetap untuk selalu bersama... (Syarif)
*Pernah dipublikasikan pada Bulletin Mocopat Syafaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H