Suatu hari, ketika guru terlambat datang setelah istirahat pertama, mungkin karena masih belum pulang dari belanja di pasar, teman-teman dalam kelas begitu ramai. Teman saya yang paling usil, sebut saja namanya Yuli, melempar kepala Yadi dari belakang. Yadi yang duduk di depan dan merasa dilempar kapur dari belakang segera mengambil kapur yang mengenai kepalanya dan berbalik badan  ke belakang. Dengan jegkel dia mengancam.
"Siapa yang tadi melempar kepalaku?" dia mengacungkan potongan kecil kapur tulis sebagai barang bukti. Semua terdiam meski tahu persis si pelaku. Sejenak hening, tiba-tiba muncul suara dari pojok belakang.
"Yuli!" suara toro lantang sambil menunjuk arah Yuli. Selanjutnya dapat dibayangkan, dengan sekuat tenaga Yadi melempar amunisi di tangannya diiringi suara keras,
"Pembalasan lebih kejam dari perbuatan!" potongan kapur itu mengenai persis kepala Yuli. Yuli hanya diam saja tidak membalas, mungkin karena dia merasa bersalah. Namun sudut matanya melirik tajam ke pojok belakang. Dipungutnya potongan kapur yang baru saja mengenai kepalanya. Dalam dalam sekejap potongan kapur malang itu telah mendarat di kepala Toro yang tidak siap dengan serangan mendadak itu.
"Cerewet!" teriak Yuli. Toro jelas tidak terima. Kapur itu kembali melayang balik. Namun Yuli sudah menduga sehingga bisa mengelak. Walhasil kapur itu mendarat di kepala yang salah, yaitu kepalanya Bowo. Tanpa dikomando dia pun melancarkan serangan balasan, dan seterusnya. Entah bagaimana teman-teman yang semula gembira sebagai penonton ingin ikut terlibat. Maka perang massal dengan sasaran siapa saja tidak bisa terhindarkan. Baik laki-laki maupun perempuan terlibat dalam pertempuran yang sengit.
Yuli tidak lagi jadi masalah dengan keusilannya, Yadi sudah hilang rasa jengkelnya, Toro sudah kembali gembira, Bowo tampak begitu menikmati, sementara teman-teman yang lain gaduh dengan penuh uforia. Entah bagaimana saya tidak tertarik ikut dalam pertempuran itu meski beberapa kali terkena peluru nyasar.
Tiba-tiba pintu kelas terbuka, Pak Guru masuk dengan wajah penuh amarah. Dalam hitungan detik anak-anak semua terdiam. Beberapa masih terengah-engah menahan nafas dan emosi. Aku duduk tenang saja di pinggir kelas.
Tanpa menanyakan siapa yang paling bertanggungjawab atas keributan itu, Pak Guru segera menjatuhkan hukuman. Tidak perduli meskipun bebera anak yang tidak terlibat dalam melakukan protes.
"Kalian semua dapat hukuman!" begitulah Sang Hakim menjatuhkan putusannya.
Ingatan saya melayang kepada masa kecil itu, setelah saya mendengarkan suara TV tetangga yang kebetulan menyiarkan berita terkini. Sebuah wilayah yang saya sendiri tidak pernah menginjakkan kaki di sana apalagi berurusan dengan semua masalah-masalah itu. Ada yang bikin surat palsu, ada yang menilap anggaran bangunan buat para atlet, ada yang memalak pajak, ada yang menggusur lapak-lapak, ada yang kelaparan, ada yang kekeringan, banyak lagi yang terlantar, sementara tidak sedikit yang sedang merintis parpol baru.
Dalam termenung saya tiba-tiba merasa begitu khawatir. Meski saya tidak pernah ikut-ikutan apalagi kebagian, bahkan saya tidak pernah sekedar merasa tidak perduli, karena memang saya benar-benar tidak mengerti, tetapi Tuhan bisa saja menjatuhkan hukumanNya secara massal... (Syarif_Enha@Kotagede).
*Pernah dipublikasikan dalam Bulletin Mocopat Syafaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H