Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seperti Anak-anak yang Lain

2 Oktober 2020   09:59 Diperbarui: 2 Oktober 2020   10:01 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seorang teman bilang pada saya, bahwa sangat sulit membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Dia mengatakan itu dengan sangat serius. Saya pikir dia hanya akan mengeluh saja, dan saya hanya cukup mendengarkan. Jika demikian maka tugas saya sangat mudah. Duduk, diam, dan dengarkan. Namun setelah puas bicara, dia bertanya, menurutmu apa yang harus dilakukan untuk bisa membedakan keduanya?

Saya pun akhirnya terpaksa memproduksi sampah lagi (karena belum bisa mempraktekkan apa yang biasa saya katakan sendiri). "Sering-seringlah kau pergi ke pasar. Bawalah uang sebanyak kau miliki. Lihat apa saja yang akan kau bawa pulang. Lain hari berangkatlah dengan uang yang kau kurangi, perhatikan barang apa saja yang bisa kau beli. Lain kali, cukup bawa uang sedikit saja, dan yakinlah bahwa yang kau bawa pulang adalah apa yang benar-benar kau butuhkan."

Sebenarnya ini bukan masalah jumlah uang, tetapi bagaimana kita bisa tercukupi dengan apa yang tengah kita miliki. Inilah mengapa kemudian ada klasifikasi kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, tersier dan seterusnya. Yang ketika kebutuhan itu mendekati cabang dan ranting terjauh dari kebutuhan pokok, sebenarnya lebih dekat dengan pemuasan. Bukan lagi kebutuhan.

Orang yang sudah cukup rumah, makan dan pakaian, akan berpikir tentang hiburan. Orang yang sudah cukup dengan kekayaan akan segera melirik kekuasaan, dan seterusnya. Bahkan Fir'aun sebagaimana dikisahkan dalam ktab suci, ketika kekuasaan sudah mampu dia raih, dia masih merasa butuh menjadi tuhan. Memang kebutuhan sering berkelindan dengan keinginan. Jika tidak waspada, keinginan-keinginan dan semua ambisi kita bisa menjelma dan "nyaru" menjadi seperti kebutuhan.

Tiba-tiba saya teringat dengan seorang yang di layar TV selalu memberikan motivasi positif. Dia sering mendorong orang untuk menggantungkan cita-citanya setinggi langit. Namun ada kawan saya yang lain yang mengatakan bahwa itu omong ksosong saja. Bagi kawan saya, cita-cita itu yang pas saja. Kita diajari oleh kehidupan yang realistis, namun dia mengajarkan sesuatu yang tidak realistis. Seseorang yang tidak pernah sekolah dan lingkungannya tidak mendukungnya maju, tidak akan bisa menatap masa depan jauh melebihi perhitungan pemenuhan kebuthan hidup dalam satu minggu atau satu bulan ke depan. Bahkan seorang Enstein sekalipun jika terdampar dalam kehidupan seperti itu pasti akan menajdi bodoh dan terbelakang. Itu kata teman saya yang saya yakin sengaja dilebih-lebihkan.

Dalam acara motivasi sering ditayangkan orang-orang yang tidak memiliki kelengkapan anggota badan, seperti tangan hanya satu, tidak memiliki kaki, tidak mampu melihat dan sebagainya, namun mereka bisa berjuang untuk hidupnya dan berhasil menorehkan banyak prestasi. Seolah dengan tayangan itu, kita digelitik agar memiliki ambisi yang tinggi. Jika orang yang hanya dititipi organ tubuh terbatas saja bisa, mengapa yang memiliki organ lengkap tidak bisa?

Para motivator selalu mendorong kita untuk selalu menatap prestasi dengan mendongak ke atas agar termotivasi untuk meraihnya. Tujuannya adalah menjadi yang terbaik di antara yang lain. Dengan demikian anda akan dibutuhkan, tidak lagi membutuhkan. Anda akan diinginkan, tidak lagi menginginkan. Uang yang akan mengikuti anda, bukan anda yang mengikuti uang. Manis sekali.

Bagi saya tidak ada yang keliru dalam setiap pernyataan mereka. Namun perlu di sadari bahwa ukuran kebutuhan masing-masing orang adalah tidak sama. Tergantung pada tuntutan peran mereka dalam kehidupan ini. Sehingga kita akan bisa terbuka dan tidak mudah saling menyalahkan. Tidak iri pada orang-orang yang bercita-cita dan berprestasi setinggi langit, tidak pula sinis kepada orang-orang yang merasa berkecukupan dengan kesederhanaan.

Oleh karena itu, coba dengar harapan seorang ibu berikut ini. Dia memiliki seorang anak perempuan berumur tujuh tahun yang sejak lahir tidak memiliki lubang anus. Selama ini si anak harus buang air besar lewat saluran kencing dengan rasa perih yang tidak bisa saya bayangkan. Dalam derai air matanya, dia hanya berharap anaknya bisa hidup normal seperti anak-anak yang lain. Tidak lebih. (Syarif Enha).

*Pernah dipublikasikan di Bulletin Mocopat Syafaat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun