Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Satu

29 September 2020   12:33 Diperbarui: 29 September 2020   12:34 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu ketika saya pergi ke kampus membawa buku terjemahan karya Jallaluddin Rumi yang berjudul Fihi Ma Fihi. Lain hari saya membawa dalam tas buku karya Imam Al Ghozali yang diberi judul Ihya Ulumuddin. Melihat dua buku itu saya bawa, teman kampus saya bilang dengan nada memperingatkan untuk berhati-hati membaca buku-buku seperti itu, bisa jadi gila, katanya.

Sekilas logika sederhana saya tidak menampik peringatannya, bahwa memang dalam beberapa contoh yang dia saksikan ada beberapa kawan yang menjadi "gila" setelah menggandrungi buku-buku semacam itu. Gila di sini dalam arti mereka kemudian bersikap aneh dan tidak seperti layaknya orang lain besikap. Tiba-tiba mereka banyak bicara tentang hakekat dan masalah-masalah spiritualitas yang tidak masuk akal, sehingga dicap sebagai orang "gila" karena "kabotan ngelmu" (keberatan ilmu).

 Namun setelah saya membaca beberapa lembar dari buku-buku yang sering saya bawa itu (karena salah satu kegemaran saya memang membawa-bawa buku aneh namun jarang membacanya), saya memiliki pendapat yang barangkali tidak sepakat dengan kehawatiran kawan saya tadi itu. Tidak sepenuhnya benar, kalau dengan membaca buku-buku macam begitu hanya akan membawa kita pada keanehan sikap yang cenderung menyimpang.

Ketika pulang kampung saya kaget karena bertemu dengan kawan lama yang ternyata sekarang menjadi aneh. Kawan-kawan banyak yang mengadu kepada saya, katanya sejak dia ikut pengajian dan mujahadah-mujahadah serta acara ziarah-ziarah, dia jadi aneh. Kata-katanya sulit dimengerti. Melangit katanya. Akibatnya dia dijauhi kawan-kawan dan lingkungannya.

Jallaluddin Rumi dalam karyanya Fihi Ma Fihi menerangkan ketika seseorang berjalan dengan tujuan menuju Sang Raja untuk menghadap, mereka harus menggunakan logika untuk menentukan arah dan metode yang paling tepat untuk mencapai tujuan yang bertemu dengan Raja. Namun setelah pertemuan itu terjadi, maka logika mereka harus diletakkan dan cukup menurut apa yang disabdakan oleh Sang Raja. Karena di hadapan Raja, tidak ada logika lain yang patut dan sebanding untuk dipakai selain kehendak dari Raja itu sendiri. Sehingga bagi seorang salik (orang yang berjuang menuju Tuhan), ketika tengah berhadapan dan munajat kepada Tuhan, dia harus sepenuhnya lebur dan menyatu dengan kehendak Tuhan. Semua yang terjadi tergantung pada apa yang disabdakan Tuhan. Jika masih kita bertahan dengan pemikiran kita, maka si hamba tidak akan pernah sampai pada apa yang ditujunya.

Pernyataan Rumi tersebut tiba-tiba menarik saya pada kenyataan bahwa saya sendiri selama ini tidak pernah dapat melepaskan diri dari belenggu logika-logika dan kepentingan manusiawi yang saya miliki. Pandangan mata ini masih saja melihat daun yang berserak di pagi buta hanya sebatas peristiwa sepele. Ukuran moral yang saya gunakan masih sebatas cara pandang manusia-manusia pada umumnya dalam bersikap. Sehingga saya menemukan diri saya tetap menemukan Tuhan dalam eksistensi yang jauh. Aku, kamu, dia dan mereka, masih berdiri pada eksistensinya masing-masing.

Barangkali, kawan-kawan yang sering dianggap "gila" oleh banyak orang, justru telah sampai pada tingkat lebur, yang sudah menafikan diri dalam bentuk ragawi, dan telah menyatu dalam jiwa-jiwa ruhaninya. Sehingga secara jasad, mereka seperti tidak lagi "manusia", karena tentu saja logika mereka tidak lagi sama dengan kebanyakan manusia, namun telah menyatu menjadi satu kehendak Tuhan. Atau mungkin, jiwa mereka telah mendahului ruh dan jasadnya untuk segera menyatu dengan Sang Pencipta. Sehingga meski jasad dan ruh masih melekat, namun jiwanya kosong.

Apakah kita akan menyebut seseorang gagal menimba ilmu hakekat, hanya karena pasca pengkajiannya hanya membuahkan ke "gilaan"? Tidakkah kita berfikir bahwa mereka yang secara ragawi kita sebut gila, telah benar-benar lulus dalam penempuhan jalan yang panjang?

Sekali-kali cobalah dekati mereka, dan ajak bicara. Maka akan anda temukan jawaban-jawaban pertanyaan yang sangat tidak biasa anda dengar dari mulut manusia manapun. Karena dia bukan lagi dia. Dia telah menyatu, dan meninggalkan raganya yang fana dengan menyisakan kalimat-kalimat yang kita anggap ganjil. (Syarif_Enha)

Semarang, 23 Maret 2010

*Pernah dipublikasikan dalam Bulletin Mocopat Syafaat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun