Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ulama, Makan di Warung, dan PNS

23 September 2020   05:19 Diperbarui: 23 September 2020   05:42 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Banyak sebab dari sebuah peristiwa, bahkan mungkin ada banyak sebab yang samar dan tersembunyi dibandingkan sebab-sebab yang sering kita sebut. Misalkan tentang sebab sakit perut.

Tidak ada yang tahu persis apa sebabnya, meski kemudian deret kemungkinan bisa disebutkan, apakah karena sambal, enzim perut yang naik, sembelit dan sebagainya. Tetapi semuanya tetap saja hanya merupakan kemungkinan.

Maka itulah, kewaspadaan akan sebuah sebab menjadi sangat penting, agar keputusan menyusun langkah perbaikan, restitusi, dan/atau pengobatan berjalan dengan tepat dan efisien.

Sebab dari akibat yang begitu nyata saja masih relatif dan samar, apalagi sebab-sebab dari peristiwa yang samar dan tidak selalu dinilai sebagai persoalan oleh orang yang mengalaminya. Misalkan keluarga yang kurang harmonis, perasaan selalu kurang dan kurang, sampai hilangnya rasa malu.

Hal-hal tersebut sering dinilai sebagai persoalan wajar yang tidak harus dibesar-besarkan. Sudah sewajarnya ada konflik dalam keluarga, sudah selayaknya manusia memiliki ambisi yang besar menuju kesuksesan, sampai anggapan wajar pada hilangnya rasa malu karena justru dianggap sebagai sikap dari seorang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi...

Baiklah, langsung pada maksud dari judul yang saya tulis. Sekilas memang tampak acak,namun akan coba saya  uraikan demikian.

Saya bisa disebut sebagai santri kalong, yang gemar untuk berpergian berkunjung ke beberapa tempat dan pengajian untuk menimba ilmu. Paling tidak itu satu-satunya yang bisa saya banggakan. Bahwa saya sering ngaji meskipun tidak selalu ketika selesai ngaji, saya peroleh ilmu yang cukup sebagaimana lanyaknya orang yang ngaji.

Suatu ketika pernah ada seorang ulama yang saya lupa, bercerita tentang ahklaq para ulama-ulama besar, yaitu salah satunya adalah tidak makan di warung atau di pasar yang dapat dilihat bayak orang, yang setiap orang lewat jika mau menengok sebentar saja pasti dapat melihat dirinya yang sedang makan.

Maka sejak saat itu juga saya tidak berhenti berpikir, mengapa seorang ulama mesti menjaga dirinya dari makan di warung atau pasar?

Tanpa sengaja saya menemukan jawaban atas pertanyaan saya itu ketika saya tengah berbincang dengan kawan saya tentang Pegawai Negeri Sipil, alias PNS. Sudah bukan rahasia lagi jika masa pendaftaran CPNS mulai, maka beratus bahkan beribu orang berebut posisi tersebut.

Tidak jarang juga kita dengar issu sogok menyogok. Semuanya menjadi transparan ketika seorang yang diterima kemudian bercerita tentang berapa uang yang dia keluarkan agar bisa diterima.

Tidak sampai di situ, ternyata usaha yang luar biasa itu tidak diimbangi dengan kinerja yang luar biasa pula. Di kantor hanya bermalas-malasan saja, hanya rajin menjelang tanggal terima gaji saja. Ironi, kata kawan saya itu.

Kawan saya kemudian kembali melanjutkan, "jika yang kau kejar adalah hidup tentram, hati tenang, keluarga bahagia, jangan sekali-kali terbersit dalam hatimu untuk mendapatkan rizqi yang haram. Subhatpun jangan, atau harta yang orang lain tidak ridlo dengannya. Sedikit saja kau peroleh dengan kejujuran dan kegembiraan orang lain atas hasil yang kau peroleh, itu akan lebih baik dan berkah bagimu." Nasehat kawan saya itu terasa begitu dalam di hati.

Saya pun kemudian mulai berpikir, itulah mungkin mengapa para ulama besar tidak ada yang gemar makan di tempat umum. Karena mungkin saja ada orang-orang yang lapar dan begitu ingin menikmati makanan di warung itu, namun merasa tertolak karena tidak ada uang sepeserpun di kantongnya, sehingga hatinya begitu masyghul.

Di titik ini ada ketidak ridlo-an atau jeritan sunyi hasrat-hasrat yang tersisihkan atas rizqi yang terhidang dalam warung tersebut. Sehingga orang-orang yang berilmu ma'rifat itu begitu hati-hati menjaga diri daripadanya.

"Bukan tidak boleh jadi PNS, bukan tidak baik makan di warung pasar, tetapi melindungi hati dari buruknya doa orang lain, dari sakitnya jiwa-jiwa yang sepi, mungkin lebih berharga dari semua itu."

Begitu kawan saya yang seorang seniman berkata. Seketika hati saya mengiyakan, Nabi saja mengajarkan untuk membagi sayur meski hanya kuahnya kepada tetangga kita yang kira-kira mencium bau masakan kita. Namun pemikiran nakal saya yang lain segera membantah, "Apa urusan saya dengan orang lain, jika mereka merasa terganggu dengan keberhasilan saya, kenapa saya yang harus repot?"

Begitulah, tidak ada yang selesai. Jika ada ulama yang mampir makan di warung, jangan lantas kita persalahkan, atau karena tetangga kita jadi PNS atau apapun yang menunjukkan kesuksesan, jangan iri atau bahkan sakit hati, karena sama sekali kita tidak tahu apa yang sebenarnya tersembunyi.

Namun jika kita masih haus untuk menyalahkan orang lain, salahkanlah PNS malas yang kerjaannya makan di warung sambil nraktir makan seorang ulama yang tidak pernah memikirkan nasib ummatnya.... (Syarif_Enha, Kebumen, 11-Agustus, 2010).

*Pernah dipublikasikan pada Bulletin Mocopat Syafaat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun