Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indonesia, Bokong, dan Tuhan

22 September 2020   08:23 Diperbarui: 22 September 2020   08:27 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah bokong di negeri ini cukup asik untuk dibicarakan. Melihat peradaban Indonesia jika diukur dari kreatifitas dangdut, personifikasi paling tepat adalah bokong. Sehingga jika bicara dangdut, yang tampak pertama dalam benak saya adalah "bokong". Modifikasi musik dangdut Indonesia tampaknya memang hanya terfokus pada bokong. 

Lihat saja, ada berapa jenis goyang yang tersentral ke bokong. Ada goyang ngebor yang heboh, ada goyang gergaji, patah-patah, sampai goyang mentok yang hot. Anehnya, penonton bersorak gembira begitu biduannya berbalik dan menyodorkan bokong di depan muka mereka dan mulai megal-megol. "Ini bukan dangdut, ini kontes bokong namanya!!!" tiba-tiba suara hati saya meninggi bikin kaget sendiri.

"Sssstt... hati-hati kalo bikin pernyataan, sekarang banyak orang sensi tentang pelecehan dan hak asasi manusia lho... bisa-bisa kamu di'meja-hijau'kan karena dianggap melecehkan sekelompok orang dengan profesi tertentu. Tidak perduli meski mereka telah melecehkan kemanusiaanmu dengan menganggap kamu tidak lebih dari maniak bokong." seorang kawan, bernama otak memperingatkan saya untuk tidak melanjutkan soal dangdut dan bokong ini. "Tapi saya sedang ingin menulis tentang bokong." Saya tetap bersikeras.

Masalah bokong tidak saja bersinggungan dengan dangdut. Seorang kawan menyatakan heran dengan maraknya berita tentang pengemis. "Kenapa? Bukannya itu wajar. Di semua negara, bahkan yang paling maju sekalipun akan selalu ada pengemis dan gelandangan?" Saya membalas bertanya. "Di Amerika dan kota-kota metropolitan di Eropa selalu ada gelandangan yang setiap tahunnya mati karena kedinginan." Saya terus menyergah sebelum dia sempat menjawab.

"Begini Bung." Dia mulai menjelaskan. "Jika kita hidup di Indonesia, kalau sampai mati karena lapar, pasti itu karena kabotan bokong. Lha semua sudah ada disediakan Tuhan, tinggal mau mingser sedikit dan mau berkeringat niscaya akan melahirkan penghidupan. Jika bokong kita terlalu berat, ya kita tidak akan kemana-mana. Malas ngapa-ngapain, akhirnya lapar dan mati. Ngenes itu namanya. Asal mau berusaha, Tuhan tidak akan tega membiarkan kita kelaparan." 

Mendengar penjelasannya, saya justru bingung, "Terus apanya yang aneh? Mereka toh tidak mati kelaparan, paling hanya digusur sana-sini oleh Satpol PP. Bahkan terakhir ada yang berpenghasilan 15 juta dalam sebulan."

"Yang aneh itu, kok ada orang yang berani untuk tidak bersyukur. Bagi saya, mengemis itu jika tidak karena terpaksa betul, sama saja menghina Tuhan. Tuhan jelas sudah kasih Indonesia yang begitu subur makmur, manusia-manusianya pun canggih minta ampun. 

Segala hal bisa diakali menjadi alat bertahan hidup. Ini kok ada yang menyangka Tuhan tidak akan kasih kehidupan dengan keuletan dan cucuran keringat. Memilih menghamba kepada belas kasih manusia, dan menatap Tuhan dengan nyinyir seolah berkata 'tidak kerja juga dapat hidup, sejahtera pula'. Menghina Tuhan itu namanya!!!" Saya kaget karena suara kawan saya  tiba-tiba meninggi.

"Lhooo... Dari mana tadi kita bicara, kok bisa sampai Tuhan. Kan awalnya kita baru ngomong tentang bokong yang berat." Saya berlagak pilon.

"Begini ini yang bikin bokong makin berat. Dikasih tahu yang bener berlagak gak nyambung, atau karena memang gak ada sambungan. Bokong itu, bukan saja ia menjadi berat karena malasnya dia beranjak, tapi juga karena bokong itu sudah begitu berat diisi berbagai segala macam. Isinya bukan saja lemak yang memang sering bikin bengkak. 

Coba saja dokter bedah melakukan bedah bokong pada orang-orang teriak keadilan tapi terbukti pula menggasak uang rakyat, orang-orang yang berteriak pemerataan ekonomi namun hanya motif untuk mengusahakan kekayaan pribadi dan anak turunnya. Orang divonis pidana malah berteriak takbir. Melarang seks bebas, tapi menyebarkan kondom pada remaja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun