Di saat kita merasa tertipu, maka sebenarnya bukan tertipu pada batu itu, dan batu itu tidak sama sekali sudah menipu diri kita, namun sebenarnya kita tengah tertipu oleh kebodohan diri kita sendiri.
Bandingkan ketika kita bertemu dengan seseorang yang benar-benar penipu. Artinya dia berusaha melakukan sesuatu untuk kita yang sebenarnya tidak ingin atau tidak pernah ia lakukan, tetapi karena tipuannya itu kita merasa yakin dia benar-benar ingin dan benar-benar telah melakukan sesuatu untuk kita. Padahal dia tengah berpura-pura dan menipu kita.Â
Dalam kondisi ini, barangkali bisa saja kita menyalahkan sang penipu atas ketertipuan kita. Namun jika ternyata si orang yang kita tuduh penipu itu ternyata tidak benar-benar ingin menipu, tetapi kita saja yang ke Ge-Er-an dan salah menilai dirinya, sehingga akhirnya saat kita membuat sebuah kesimpulan menjadi salah, maka sebenarnya kita telah tertipu diri kita sendiri.
Jadi, untuk bisa menentukan siapa yang menipu dan mengapa kita tertipu, mesti ada sebuah mekanisme pembuktian. Kita tidak bisa serta merta melakukan tuduhan pada aktor luar diri kita yang telah secara aktif menipu, sedangkan diri kita sama sekali tidak ikut andil dalam aksi tipu-tipu ini. Karena menurut saya boleh saja setiap orang adalah penipu dan segala sesuatu adalah sebuah tipuan, asal diri kita waspada, tentu kita tidak akan tertipu.
Tuhan saja sudah memperingatkan kepada kita, bahwa dunia seisinya ini hanyalah tipuan dan senda gurau semata. Hanya orang yang waspada dan tidak terlena akan dunialah yang selamat menemukan hakekat. Sehingga saya merasa salut kepada kawan saya yang jatuh sakit itu, bahwa penyesalannya atas kebodohan dirinya adalah sudah sebuah hasil analisa yang sangat tepat, meski sebenarnya tidak perlu sampai sebegitunya.Â
Maka segera saya anjurkan padanya untuk segera sadar, bahwa penyesalan itu cukup sebagai modal untuk bisa segera berubah dan bergerak maju kembali tanpa harus terjebak dalam ketertipuan yang sama.
Akhirnya, saya ingin mengajak kepada kita semua, bahwa pertanyaan siapa tertipu dan siapa menipu adalah sudah jelas jawabnya. Kita tidak akan mempersoalkan siapa penipu itu, tetapi yang akan kita masalahkan bisakah kita hidup tanpa tertipu. Karena kuncinya adalah ada pada kemampuan dan kewaspadaan diri kita masing-masing. Sehingga dengan gagah kita bisa mengatakan kepada siapapun atau apapun, "Tipulah aku, tetapi aku tidak akan tertipu!"
Semarang, 13 Juli 2009
*pernah dipublikasikan di Bulletin Mocopat Syafaat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI