Suatu saat saya diajak dua kawan naik taxi. Ketika melewati sebuah tanjakan, kami melihat ada seorang yang mengendarai sepeda dengan tenaga ekstra. Seketika kawan saya berkomentar, "Sudah ada motor ngapain pake sepeda ontel." Kawan saya yang lain menimpali, "Jangan begitu, mungkin karena dia memang tidak punya motor."
Mendengar mereka berkomentar, saya juga tergoda untuk ikut bicara, "Kalau masih bisa naik sepeda ngapain pake motor." Komentar saya langsung dibalas kawan-kawan dengan nada seragam. "Ada yang lebih mudah ngapain susah-susah." Kontan saja saya manggut-manggut. Dalam pikiran saya seperti ada mesin yang otomatis memberikan kesimpulan, "Pantas saja puasa menjadi "barang mewah" yang sangat Tuhan suka."
Bukan masalah pilihan akan naik sepeda ontel atau naik motor. Mungkin dari sini kita bisa belajar membaca keadaan sekitar selain mengenai cara berpikir dan menarik kesimpulan. Seorang yang hidup dalam lingkungan yang serba sederhana dan terbatas, cara berpikir yang tumbuh dan dia gunakan adalah survival atau mempertahankan hidup. Sementara seorang yang tumbuh di lingkungan mapan dengan potensi dan dorongan, maka cara berpikir dia yang dominan adalah establishment atau kemapanan. Sedangkan orang yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan kompetisi, perebutan dan tekanan, sangat mungkin menjadi orang yang ambisius, dan seterusnya, dan seterusnya.
Seorang kawan nekat pergi ke luar negeri. Tentu biaya perjalanan ke luar negeri tidak murah. Dia merencakanan akan menjual satu petak sawah untuk biaya perjalanan dan pengurusan kerja. Rencananya itu sebenarnya ditentang habis-habisan oleh keluarganya yang hanya memiliki dua petak sawah itu, sedangkan adik-adiknya masih cukup banyak sehingga masih butuh biaya. Jika dijual maka dipastikan keluarganya tidak memiliki lahan penghasilan untuk diusahakan. Mendapat penentangan itu, kawan saya naik darah dan mengancam akan membunuh kedua orang tuanya dengan golok. Akhirnya sawah itu dijual juga, dan sekarang kawan saya itu ada di negeri yang jauh mencari nafkah.
Sekilas ketika mendengar penuturan saudaranya itu, saya merasa nelangsa, kenapa dia begitu nekatnya sampai berani mengancam kedua orang tuanya itu. Namun ketika sebelum berangkat saya sempat menemuinya, pandanganku padanya benar-benar berubah. Ternyata keputusannya bukanlah tanpa dasar yang jelas dan pertimbangan yang matang. Bukan berarti saya membernarkan tindakannya mengangkat golok.
Kawan saya itu adalah anak pertama dari Sembilan bersaudara dari keluarga yang kurang jika dihitung secara materi. Setelah lulus SMK dia merantau tidak jelas dengan bekal keterampilan yang minimal, namun dengan tekad yang besar bahwa dia ingin merubah keadaan keluarganya, dan agar adik-adiknya bisa sekolah.
Mengandalkan orang tuanya yang hanya memiliki keterampilan bertani dengan luas tanah yang tidak seberapa jelas mustahil. Dia berkali-kali pindah kerja dan menjelajah bebagai kota dan akhirnya memiliki kesimpulan yang tegas, bahwa bekerja di negeri ini dengan bekal yang dia miliki sekarang tidak bisa merubah keadaan. Kecuali ada keajaiban, seperti menang lotre misalnya.
Akhirnya dia memutuskan untuk merantau ke luar negeri. Meski bekal hanya bisa dia peroleh dengan harus menjual sawah, bahkan dengan pertengkaran hebat dengan keluarganya yang sudah begitu menerima dengan keadaan yang serba terbatas itu. Dia cukup yakin, dengan kontrak tiga tahun di luar negeri, ditambah hidup perihatin, bukan saja modal sawah itu bisa dia beli kembali, namun bisa memiliki cukup modal untuk memulai usaha mandiri. Meski dia menyadari langkahnya begitu radikal, namun dengan keterbatasannya, dia menilai itulah jalan yang paling mungkin bisa diusahakan.
Mendengar ceritanya demikian, saya tidak bisa menyalahkannya, tentang penyederhanaannya atas masa depan, tentang begitu banyak kemungkinan, keadaan dan pengalaman telah membentuk dirinya. Saya hanya bisa berdoa untuk kebaikannya dan keluarganya. Susah payah saya membatu untuk menjelaskan kepada kedua orang tunya agar mau memaafkan dirinya. Karena sebenarnya kawan saya itu sudah habis kata-kata untuk menjelaskan dan memberi pengertian.
Setiap keputusan yang diambil seseorang, jangan buru-buru kita tuduh salah dan tidak benar. Karena di setiap keputusan ada satu pertimbangan, entah itu panjang atau pendek, matang atau mentah. Adanya dialog, bukan untuk menyalahkan keputusan itu. Namun mempertanyakan apakah dasar pertimbangannya sudah benar dan tepat, sehingga keputusan itu benar-benar sebagai jalan keluar yang efektif, atau barangkali ada alternatif lain yang lebih aman? Namun lebih sering kita membuka diskusi hanya untuk menemukan kesalahan, bukan tentang sebab musabab dan jalan keluar.
Seperti orang yang bersusah payah naik sepeda di jalan menanjak, saya dan kawan-kawan begitu ramai membicarakannya, namun sayang, kami enggan untuk berhenti dan bertanya, mengapa dia mau repot-repot ? Akhirnya kami hanya ramai dan ribut saja tanpa tahu alasan sebenarnya si pengendara sepeda. Pada akhirnya saya merasa betapa pembicaraan model seperti ini begitu sia-sia. Tidak menghasilkan apa-apa kecuali asumsi dan prasangka saja.
Syarif_Enha@Kebumen, 8 Oktober 2010
*Pernah dipublikasikan di Bulletin Mocopat Syafaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H