Kita semua akrab betul dengan kata bohong, seakrab kita mengenal kata jujur. Sejak kecil kita selalu digadang untuk menjadi orang jujur, dan dilarang untuk menjadi seorang pembohong. Namun dalam perkembangannya, ternyata kita secara alami belajar tentang kebohongan.
Karena pada dasarnya tidak pernah ada yang mengajari kita untuk berbohong, tetapi kitalah yang telah belajar banyak dari lingkungan, bahwa kebohongan itu ada dan hidup subur di antara kita.
Apakah sebenarnya kebohongan itu? Beberapa literatur menyebutkan bahwa secara umum bohong itu didefinisikan sebagai mengatakan sesuatu yang tidak sebenarnya. Namun ternyata dalam kenyataannya bohong itu sangat rumit.
J.A. Barnes (2005: 26) mengartikan kebohongan itu adalah sebuah niat, maksud, atau tujuan untuk membuat seorang korban memahami suatu realitas dunia dan/atau realitas pikiran sesuai dengan keinginan si pembohong, dimana realitas itu sendiri dipercaya oleh si pembohong sebagai suatu kepalsuan atau kesalahan.
Cara yang secara umum sering digunakan oleh para pembohong adalah dengan mengeluarkan pernyataan palsu yang dapat dipahami sebagai kebenaran oleh korban kebohongan itu. Dan Agustine (1952:56) pernah mengungkapkan bahwa korban kebohongan adalah mereka yang salah menangkap makna yang sebenarnya dari sebuah pernyataan.
Bagaimana dengan diam? Inilah yang menjadi persoalan, apakah jika mengetahui sebuah kebenaran dan dia diam saja ketika ditanya atau tidak mau mengatakan yang sebenarnya bisa disebut bohong juga? Jika mengacu pada pengertian Agustine, diam dapat menyebabkan salah penafsiran dari banyak orang atas suatu realitas. Dengan demikian, diam bisa jadi adalah kebohongan yang pasif.
Kebohongan adalah ciri kemunafikan. Yaitu sifat menyembunyikan maksud hati yang sebenarnya denga berkata atau berekspresi dengan hal yang bertentangan. Sifat ini sangat dikecam agama. Bahkan kemunafikan dikatakan sebagai sebuah dosa yang diancam bagi pelakunya akan ditempatkan di neraka paling bawah.
Sikap jujur menjadi sikap yang paling utama. Mengatakan apa adanya. Namun ini tidak berarti naif. Karena bisa jadi, kebenaran akan menjadi alat kejahatan. Maka sebagai manusia yang dibekali akal, harus mampu menggunakannya dengan optimal.
Pada akhirnya, sikap jujur dan tidak berbohong tidak saja harus kita gunakan ketika berhadapan dengan orang lain. Tetapi juga jujur dan jangan membohongi pada diri sendiri. Dari sinilah kita mulai beraltih.
Jika kepada diri sendiri saja kita masih sering tipu-tipu, mari upayakan dikit-dikit untuk bongkar. Orang lain tidak bisa bantu, tetapi diri kita sendirilah yang bisa mengidentifikasi dan menyembuhkannya.
Syarif_Enha@Nitikan 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H